LANGIT7.ID-Pekan lalu, jagat maya Indonesia ramai membicarakan sebuah video yang ternyata dibuat sepenuhnya oleh kecerdasan buatan (AI). Suara penyanyi legendaris yang sudah wafat bisa kembali “bernyanyi” lewat teknologi *deepfake*. Bagi sebagian orang, ini hiburan. Tapi bagi yang lain, ada kecemasan: sampai sejauh mana manusia boleh membiarkan teknologi meniru, bahkan menggantikan, karya dan identitas manusia?
Fenomena ini hanyalah salah satu wajah Revolusi Industri 4.0 yang sedang mengguncang dunia. Dari aplikasi
fintech yang mengubah cara orang meminjam uang, hingga rekayasa genetika yang bisa merancang bayi sesuai keinginan, teknologi kini bukan lagi sekadar alat. Ia mulai tampil sebagai “aktor” yang bisa menentukan arah peradaban.
Padahal, jauh sebelum diskursus modern ini lahir, Al-Quran sudah mengingatkan manusia untuk terus menambah pengetahuan—namun dengan tujuan yang jelas. “Wahai Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu” (QS Thaha [20]: 114). Bahkan, Nabi Muhammad Saw. sendiri diperintahkan berdoa agar ilmunya bertambah. Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam
Wawasan Al-Qur’an (Mizan, 1996) menekankan bahwa ilmu, dalam perspektif Islam, bukanlah untuk ilmu semata, melainkan harus diarahkan pada kemaslahatan manusia dan penguatan iman.
Baca juga: Ketika Cendekiawan Muslim Mulai Mempelajari Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Yunani Ayat Ali ‘Imran [3]: 190-191 menyebut sosok
ulil albab, yaitu mereka yang memadukan tafakkur (perenungan atas ciptaan) dan zikir (kesadaran ketuhanan). Keseimbangan ini penting, sebab tafakkur tanpa zikir bisa melahirkan kesombongan ilmiah, sementara zikir tanpa tafakkur berisiko jatuh pada dogmatisme. “Islam menawarkan sintesis: berpikir dan beriman, menguasai alam tanpa lupa siapa yang menundukkannya,” tulis Quraish Shihab.
Peringatan itu sejalan dengan pandangan sejarawan Arnold Toynbee dalam
A Study of History (1946). Menurutnya, peradaban hancur bukan karena miskin teknologi, melainkan karena salah menggunakannya. Peradaban Mesir kuno, Romawi, hingga Soviet modern, runtuh ketika teknologi yang mereka banggakan tidak lagi memberi arah moral. Al-Quran menggambarkan rapuhnya kejayaan duniawi dalam QS Yunus [10]: 24: tanaman yang subur bisa seketika lenyap, meninggalkan bumi seolah tak pernah ditumbuhi.
Sosiolog Prancis Jacques Ellul bahkan lebih keras. Dalam
The Technological Society (1964), ia menyebut teknologi memiliki
otonomi. Pada titik tertentu, kata Ellul, teknologi tidak lagi sekadar tunduk pada manusia, melainkan menuntut manusia menyesuaikan diri dengannya. Algoritma media sosial, misalnya, bukan lagi hanya alat komunikasi. Ia membentuk perilaku politik, ekonomi, bahkan relasi sosial, tanpa disadari pengguna.
Indonesia sendiri kini menghadapi dilema serupa. Di satu sisi, kecerdasan buatan bisa membantu petani menentukan pola tanam lewat analisis cuaca, atau mendeteksi penyakit lebih cepat dibanding dokter. Di sisi lain, muncul kekhawatiran pengangguran massal akibat otomatisasi. Pemerintah melalui Kementerian Kominfo gencar mempromosikan transformasi digital, tapi persoalan etika, keamanan data, dan bias algoritma masih sering luput.
Baca juga: 750 Ayat Kauniyah: Al-Quran Tidak Sama dengan Kitab Ilmu Pengetahuan Quraish Shihab menyebut, manusia bisa kehilangan fitrah sebagai khalifah di bumi jika membiarkan teknologi mengambil alih peran. Padahal, manusia ditugaskan bukan hanya menguasai ilmu, tapi juga mengendalikannya dengan nilai Rabbani. “Segala sesuatu di sisi-Nya memiliki ukuran” (QS Al-Ra’d [13]: 8).
Pertanyaan besar pun menggantung: bisakah umat Islam, dan manusia pada umumnya, memastikan bahwa lonjakan teknologi tidak menjerumuskan mereka? Islam membuka ruang luas bagi teknologi netral dan bermanfaat, tapi menolak apa pun yang sejak awal berpotensi menjauhkan manusia dari kemanusiaan dan zikir.
Jawabannya mungkin ada pada keseimbangan. Bagaimana ilmu diarahkan, bukan dipuja. Bagaimana teknologi ditundukkan, bukan menundukkan. Sebab, sebagaimana doa Nabi, pengetahuan hanyalah amanah yang terus bertambah, tapi tetap berada di bawah Yang Maha Mengetahui.
Baca juga: Al-Qur'an dan Ilmu Pengetahuan: Sifat Penemuan Ilmiah(mif)