LANGIT7.ID-Kata ilmu—dengan berbagai derivasinya—terulang tak kurang dari 854 kali dalam Al-Quran. Jumlah yang mencengangkan ini bukan kebetulan. Ia menegaskan betapa sentralnya ilmu dalam pandangan kitab suci. Kata ini, menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam
Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Mizan), bukan sekadar sinonim “pengetahuan,” tetapi bermakna kejelasan.
Dari akar kata yang sama lahir istilah ‘alam (bendera), ‘alamat (tanda), hingga a‘lam (gunung). Semuanya menunjuk pada sesuatu yang tegas dan nyata. Ilmu, dalam makna Qur’ani, adalah pengetahuan yang jelas dan pasti. Beda dengan ma‘rifah yang lebih dekat dengan “sekadar mengenal.” Karena itu, Allah tidak disebut ‘arif (yang mengetahui), melainkan ‘alim—Maha Mengetahui—bahkan terhadap yang gaib, tersembunyi, atau dirahasiakan: apa yang dikandung rahim, bisikan dalam dada, hingga kedipan mata.
Kisah penciptaan manusia pertama menjadi bukti betapa ilmu adalah keistimewaan sekaligus mandat. "Dia (Allah) mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya,” demikian termaktub dalam QS Al-Baqarah [2]: 31-32. Malaikat pun mengakui keterbatasan mereka: “Tiada pengetahuan kecuali yang Engkau ajarkan.” Dengan bekal itulah manusia diangkat sebagai khalifah di bumi.
Quraish Shihab menekankan, Al-Quran mengakui dua macam ilmu. Pertama, ‘ilm ladunni: pengetahuan yang dianugerahkan langsung oleh Allah tanpa usaha manusia, sebagaimana dialami hamba saleh yang ditemui Nabi Musa (QS Al-Kahfi [18]: 65). Kedua, ‘ilm kasbi: pengetahuan hasil jerih payah manusia, melalui pengamatan, percobaan, dan proses intelektual. Jumlah ayat tentang ‘ilm kasbi jauh lebih banyak—sebuah dorongan agar manusia bekerja keras menempuh jalan pengetahuan.
Namun, tak semua wujud bisa disentuh akal. Ada realitas yang tak terjangkau oleh metode empiris. “Aku bersumpah dengan yang kamu lihat dan yang tidak kamu lihat” (QS Al-Haqqah [69]: 38-39). Bahkan, ada ciptaan yang manusia belum sanggup membayangkan: “Dia menciptakan apa yang tidak kamu ketahui” (QS Al-Nahl [16]: 8). Di sinilah letak batas pengetahuan manusia.
Firman-Nya mengingatkan: *“Kamu tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit”* (QS Al-Isra’ [17]: 85). Ayat ini, menurut Quraish Shihab, menegaskan sifat ilmu manusia yang serba terbatas—betapapun canggih riset dan teknologi.
Dengan demikian, ilmu dalam perspektif Al-Quran bukan hanya soal penguasaan fakta, melainkan juga pengakuan atas keterbatasan. Manusia diperintahkan menuntut ilmu, tapi sekaligus dituntut rendah hati. Antara ladunni yang datang dari langit dan kasbi yang diupayakan di bumi, ilmu menempatkan manusia pada posisi istimewa—namun tetap fana di hadapan Yang Maha Mengetahui.
(mif)