LANGIT7.ID, Jakarta - Sejumlah ulama melarang non-Muslim masuk masjid. Pendapat ini berangkat dari tafsir Surah Surat At-Taubah ayat 28 yang menyebut orang-orang musyrik merupakan najis. Mereka pun dilarang memasuki area Masjidil Haram Mekkah.
Adapun pedoman para ulama berdasarkan surah tersebut, artinya: "Wahai orang yang beriman, sungguh orang musyrik itu najis. Janganlah mereka memasuki masjidil haram setelah tahun ini," (At-Taubah ayat 28).
Adapun sejumlah tafsir ulama terbagi menjadi beberapa pendapat yakni larangan non-Muslim masuk tanah haram (Mekkah-Madinah), hanya di Masjidil Haram, dan boleh di masjid lain termasuk Masjidil Haram, dengan atau tanpa keperluan.
Melansir
NU Online, Madzhab Hanafi mengikuti pandangan Abu Hanifah yang membolehkan orang kafir, orang musyrik, atau non-Muslim untuk masuk ke dalam masjid termasuk ke dalam masjidil haram. Berikut ini pemahaman Abu Hanifah:
"Abu Hanifah membolehkan orang kafir masuk masjid mana saja, termasuk masjidil haram tanpa izin dan tanpa keperluan sekalipun. Sedangkan pengertian ayat, 'Jangan mereka memasuki masjidil haram setelah tahun ini, (At-Taubah ayat 28) menurut Abu Hanifah, merupakan larangan untuk berhaji dan umrah dengan telanjang setelah tahun ini, yaitu tahun 9 H ketika ia memerintahkan Abu Bakar As-Shiddiq dan Sayyidina Ali menyeru dengan surat ini, 'Setelah tahun ini tidak boleh lagi ada orang musyrik melaksanakan haji dan tidak boleh ada lagi orang telanjang berthawaf,' (HR Bukhari dan Muslim)."
"Abu Sufyan sendiri pernah memasuki masjid Madinah untuk memerbaharui kontrak perdamaian Hudaibiyah setelah dilanggar oleh Quraisy. Demikian juga rombongan tamu dari Bani Tsaqif pernah memasuki masjid Madinah. Tsamamah bin Atsal ketika dalam kondisi tawanan diikat di masjid nabawi," (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H, juz 3, halaman 582).
Sementara Madzhab Maliki membolehkan non-Muslim untuk memasuki tanah haram kecuali Masjidil Haram dengan izin umat Islam dan dengan aman. Tetapi Madzhab Malik mengharamkan non-Muslim untuk masuk ke dalam masjid manapun kecuali ada uzur tertentu.
Sedangkan Madzhab Syafi'i dan Madzhab Hanbali mengharamkan sama sekali non-Muslim untuk masuk ke dalam Masjidil Haram meskipun untuk kemaslahatan tertentu. Hanya saja non-Muslim menurut mereka boleh memasuki masjid lain untuk sebuah hajat tertentu dengan izin umat Islam sebagaimana keterangan berikut ini:
"Madzhab Syafi'i dan Madzhab Hanbali berpendapat bahwa non-Muslim sekalipun untuk sebuah kemaslahatan dilarang untuk memasuki tanah haram Mekah berdasarkan firman Allah di Surah At-Taubah tersebut. Di dalam atsar disebutkan, 'Tanah haram seluruhnya adalah masjid.'
Menurut ulama dari dua madzhab ini, orang kafir boleh masuk masjid dengan izin umat Islam karena suatu keperluan kecuali Masjidil Haram. Pasalnya, teks ayat tersebut hanya menyinggung Masjidil Haram. Hal ini juga sesuai kaidah bahwa pada asalnya segala sesuatu, boleh.
Di dalam syariat sendiri tidak ada dalil yang mengalahi hukum asal ini. Rasulullah SAW sendiri–ketika didatangi oleh rombongan kunjungan dari Thaif, menempatkan tamunya di masjid tersebut sebelum mereka memeluk Islam. Sa'id Ibnul Musayyab mengatakan, Abu Sufyan pernah memasuki masjid Madinah ketika masih menjadi seorang musyrik.
Ketika Rasulullah sedang berada di dalam masjid, 'Umair bin Wahb pernah datang lalu memasukinya untuk membunuh Rasul. Tetapi Allah menganugerahkan Islam kepadanya,' (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H, juz 3, halaman 583).
Dari berbagai keterangan ini, kita dapat mengatakan bahwa ulama berbeda pendapat perihal masuknya non-Muslim ke masjid selain masjidil haram. Ulama memiliki cara pandang yang khas atas Surat At-Taubah ayat 28 dan sejumlah riwayat hadits sehingga melahirkan perbedaan pendapat perihal ini.
Adapun terkait masuknya remaja non-Muslim ke dalam sebuah area di dalam masjid untuk merapatkan agenda tertentu, masalah ini perlu merujuk pada tradisi dan kesepakatan sosial setempat atau setidaknya izin pengurus masjid dengan catatan pengurus masjid mengerti perbedaan pandangan di kalangan ulama.
(bal)