LANGIT7.ID-, Jakarta- - Wakil Presiden RI, KH Ma'ruf Amin, menilai pondok pesantren di Indonesia bisa menjadi pusat peradaban Islam. Pondok pesantren merupakan aset bangsa khas Indonesia. Pesantren menjalankan peran sebagai pusat pendidikan, pusat dakwah, dan pusat pemberdayaan masyarakat.
"Pesantren ini aset bangsa. Oleh karena itu, selain sebagai pusat pendidikan, kader dakwah, i'dadul mutafaqqihina fiddin, i'dadul rijalud dakwah, juga sekarang memang kita beri satu lagi peran baru. Bukan peran sebenarnya, peran lama yang diperbaharukan, yaitu pemberdayaan masyarakat," kata KH Ma'ruf dalam Roadshow Pondok Pesantren bertajuk 'Menguatkan Karakter Pesantren Antikekerasan' di Pondok Pesantren An-Nawawi Tanara (Penata), Serang, Banten, Sabtu (29/7/2023).
KH Ma'ruf berharap pesantren bisa menjadi pusat peradaban Islam, untuk membangun masyarakat yang benar-benar berorientasi pada keimanan, sehingga umat selamat dunia dan akhirat.
"Saya harapkan pesantren harus menjadi pusat peradaban islam ke depannya ini, harus menjadi pusat-pusat pemberdayaan Islam seperti dulu," katanya.
Sebagai pusat pendidikan, pesantren menjadi tempat untuk melahirkan para ahli agama yang akan meneruskan tugas-tugas kenabian dan merespons berbagai masalah yang berkembang sesuai zamannya. Di pesantren, akhlak dan keilmuan para santri ditempa untuk terbiasa dengan kesederhanaan dan kerendahan hati.
"Imam Ibnu Atha'illah mengumpamakan pertumbuhan manusia itu seperti pohon. Pohon itu harus ditanam, kalau enggak ditanam enggak bisa numbuh. Artinya apa, manusia itu harus ditanam dulu, didril dulu, dilatih dulu, dibikin dia mampu bertahan, merendah hati dulu," ujar KH Ma'ruf Amin.
Dengan semangat mendidik akhlak seperti itu, KH Ma'rif menilai tidak benar pesantren-pesantren yang justru di dalamnya ada unsur kekerasan. Hidup sederhana dan akhlak rendah hati merupakan pola yang diajarkan dalam kehidupan pesantren.
"Jadi, kalau ada pesantren-pesantren yang kemudian malah menimbulkan kekerasan, pelecehan seksual, itu pesantren gadungan namanya. Itu harus dihabisi, itu merusak nama pesantren,” tegas KH ma'ruf.
Adapun sebagai pusat dakwah, pesantren mengajarkan dakwah yang santun sebagaimana ajaran Islam rahmatan lil ‘alamin. Dengan karakteristik dakwah seperti ini, KH Ma'ruf mengemukakan, Islam bisa berkembang dan umatnya bahkan menjadi mayoritas di Indonesia.
“Syariah itu semuanya toleran, semuanya adalah kemanusiaan. Jadi, saya kira jelaslah, hal-hal kekerasan, kebencian, permusuhan bukan syariah walaupun dikatakan, ditafsirkan sebagai syariah,” ujarnya.
Dalam fungsi pemberdayaan masyarakat, Wapres menekankan pentingnya memakmurkan bumi melalui berbagai aktivitas perekonomian, tetapi tetap dalam koridor syariat.
“Pesantren harus mengembangkan ekonomi yang kreatif yang sesuai syariah. Ekonomi yang dibangun bukan sesuai, tidak sesuai syariat, sama dengan tidak ada, tidak ada. Bahasa orang kerennya nothing,” katanya.
Terlebih, Indonesia saat ini sudah menggunakan dual system economy yang memadukan ekonomi syariah dan ekonomi konvensional. Untuk mengembangkan ekonomi syariah, jelasnya, pemerintah sudah membentuk Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) di tingkat pusat dan Komite Daerah Ekonomi dan Keuangan Syariah (KDEKS) di tingkat daerah.
Oleh karena itu, Wapres meminta agar pesantren tertantang untuk turut dalam pengembangan ekonomi syariah ini.
Sebelumnya, Ketua Komisi Perempuan, Remaja, dan Keluarga Majelis Ulama Indonesia (PRK MUI), Siti Ma’rifah melaporkan, hari ini terdapat dua kegiatan, yaitu (a) sosialisasi dan literasi pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual pada lembaga pendidikan agama serta (b) seminar ekonomi kreatif dan moderasi beragama.
Acara ini diikuti oleh sekitar 350 pimpinan pesantren, tokoh masyarakat, dan tokoh organisasi masyarakat Islam se-Provinsi Banten secara luring dan sekitar 500 pesantren se-Indonesia secara virtual.
Benang merah dari kedua tema ini bahwa akar permasalahan dari kekerasan, baik kekerasan verbal, fisik, psikis, maupun seksual, dapat diselesaikan dengan menggunakan pendekatan ideologis keagamaan ataupun pendekatan ekonomi syariah yang berbasis keadilan dan kesejahteraan.
“Kita melihat bagaimana fenomena saat ini, wajah lembaga pendidikan agama yang termasuk di dalamnya pesantren, akhir-akhir ini ditampakkan sebagai lembaga yang mengajarkan kekerasan, baik fisik, psikis, maupun juga kekerasan atau pelecehan seksual, yang ditengarai kasus akhir-akhir ini yang muncul merebak,” ucap Siti Ma’rifah.
“Dan, sesungguhnya fenomena tersebut sangatlah jauh panggang dari api karena sejatinya lembaga pendidikan Islam, khususnya pesantren, tidak memiliki karakter demikian, tetapi justru mengajarkan nilai tawassuth, tasamuh, tawazun,” sambungnya.
Di tempat yang sama, Ketua MUI Bidang PRK Amany Lubis menekankan pentingnya menguatkan karakter santri dan juga seluruh pengelola pondok pesantren untuk mengedepankan antikekerasan, kebaikan, dan kesopanan. Sebab, selama ini pesantren sudah turut membantu menciptakan generasi muda yang berakhlak karimah dan penuh semangat untuk membangun negeri.
“Proses pendidikan di pondok pesantren harus memiliki sikap yang memberi ruang untuk tumbuhnya antikekerasan dalam segala bentuk. Untuk itu, komitmen bersama untuk menjaga pesantren tetap menjadi tempat pendidikan karakter yang luhur, yang sabar,” ungkap Amany.

(ori)