LANGIT7.ID-, Jakarta- - Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah kembali selenggarakan Pengajian Umum pada Jumat (27/1) dengan tema “Muhammadiyah dan Pemilu 2024”.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti dalam pengantarnya menyampaikan, tema tersebut sengaja diangkat sebagai pengajian sekaligus pengkajian, serta kaitan cara Muhammadiyah memandang dan menyikapi Pemilu 2024.
Setidaknya menurut Mu’ti terdapat tiga hal terkait dengan tema Pengajian Umum ini. Pertama, yaitu sebagai aktualisasi keputusan Muktamar ke-48 tentang isu kebangsaan yang didalamnya membahas isu penting di tingkat nasional.
“Salah satu yang menjadi keputusan adalah bagaimana Muhammadiyah mendorong demokrasi dan demokratisasi di Indonesia, termasuk dalam penyelenggaraan Pemilu 2024, dan suksesi kepemimpinan 2024,” katanya.
Mu’ti memandang, demokrasi yang telah berjalan di Indonesia sudah seperempat abad ini tidak menunjukkan peningkatan. Bahkan oleh beberapa peneliti baik di dalam maupun luar negeri, demokrasi di Indonesia terdapat perkembangan yang mengkhawatirkan.
Baca juga:
Gus Mus: Beda Pilihan Itu Alamiah, Jaga Kerukunan“Indonesia yang pada awal reformasi mendapat apresiasi sebagai negara paling demokratis, dan proses transisi demokrasi yang sangat damai, yang peacefull dan tidak terjadi insiden kekerasan, dan sebagainya. Dalam perkembangannya justru terjadi proses declining demokrasi, bahkan mungkin defisit demokrasi,” ungkap Mu’ti.
Fenomena tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di berbagai belahan dunia lain. Oleh karena itu, Muhammadiyah mendorong demokrasi ke arah yang lebih substantif, bahkan juga mendorong untuk membangun budaya demokrasi.
“Muhammadiyah sebagai organisasi yang konsisten menegakkan konstitusi sesuai dengan prinsip darul ahdi wasy syahadah berusaha mengajak semua pihak agar proses demokrasi – Pemilu 2024 dan juga suksesi 2024 dapat berjalan dan berlangsung sesuai dengan konstitusi,” pesan Mu’ti.
Kedua, Pemilu 2024 ini dalam pandangan Muhammadiyah tidak sekadar pergantian kekuasaan atau kepemimpinan semata. Melainkan proses untuk menunjukkan demokrasi yang bermartabat.
“Persoalan etik dan etika berdemokrasi itu meniscayakan bagaimana proses-proses itu senantiasa mengedepankan moralitas, senantiasa mengedepankan keluhuran budi, dan tentu menggambarkan betapa bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang berkeadaban tinggi demi mencapai kekuasaan, demi mencapai kemenangan. Tentu tidak seharusnya kita melakukan segala macam cara termasuk misalnya dengan cara yang melanggar konstitusi,” kata Abdul Mu’ti.
Ketiga, Pemilu 2024 dan pemilu-pemilu yang lain adalah bagian dari urusan muamalah duniawiyah, jangan dimasukkan ke dalam akidah dan juga wilayah ibadah khusus. Sikapi pemilu dengan biasa-biasa saja, sebagai agenda lima tahunan.
Karena masuk sebagai wilayah itu, maka warga persyarikatan diberikan wewenang untuk menentukan pilihan secara individual. Tentu dengan mengedepankan tanggung jawab, dan menentukan pilihan pemimpin yang berkualitas – melihat kekurangan dan kelebihannya.
Dalam memilih pemimpin dari sisi kualitas, Abdul Mu’ti menyarankan untuk menggunakan metode yang ada dalam Ilmu Hadis yaitu al jahr wa ta’dil. Sementara untuk melihat dari sisi program-program yang ditawarkan dengan menggunakan metode Tarjih Muhammadiyah, yaitu saling membandingkan antara satu dengan lain.
“Karena itulah kita perlu menunjukkan kedewasaan dalam menyikapi demokrasi itu. Kedewasaan itu kita tandai dengan sikap kita yang arif dan bijaksana dalam menilai, dan menentukan pilihan. Tentu dengan pilihan-pilihan yang rasional dan objektif, kemudian menghormati mereka yang berbeda pilihan,” tandas Mu’ti.
(ori)