LANGIT7.ID-, Jakarta- - Industri otomotif Indonesia menghadapi tantangan besar akibat perjanjian eksklusif antara produsen dan dealer. Praktik ini tidak hanya menghambat pertumbuhan sektor, tetapi juga mengancam target pemerintah untuk mencapai penjualan tahunan 2 juta unit pada tahun 2030.
Selama hampir satu dekade, industri otomotif Indonesia mengalami stagnasi. Sejak 2013, penjualan mobil domestik bertahan di angka 1 juta unit per tahun. Data terbaru menunjukkan tren penurunan yang mengkhawatirkan. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) melaporkan penjualan mobil secara wholesales pada Januari hingga Maret 2024 hanya mencapai 215.069 unit, turun 23,9% year-on-year. PT Astra International Tbk mencatat penjualan mobil Juli 2024 sebanyak 74.160 unit, turun 0,62% dari Juni (74.623 unit) dan 7,88% (6.344 unit) dari Juli 2023.
Dian Parluhutan, Dosen Hukum Persaingan Usaha Universitas Pelita Harapan, menjelaskan bahwa pasar otomotif Indonesia bersifat oligopoli. "Hanya ada beberapa pemain yang menguasai pasar sektor otomotif," ujarnya. Ia mencontohkan pengusaha asal Jepang, Korea Selatan, atau Eropa yang menentukan pasokan barang, penetapan harga, dan pelayanan jual secara serempak.
Perjanjian eksklusif antara produsen dan dealer semakin memperburuk situasi. "Klausul eksklusivitas dalam suatu perjanjian vertikal melarang investor untuk mendirikan usaha sejenis yang menjual merek berbeda," ungkap Dian. Praktik ini bertentangan dengan persaingan usaha yang sehat dan membatasi pilihan konsumen.
Di Jerman dan Uni Eropa, perjanjian pembatasan semacam ini dikategorikan sebagai perjanjian yang secara mutlak dilarang (hardcore agreement). "Bahkan di lembaga Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Uni Eropa, perjanjian ini tidak diperkenankan dan dianggap tidak layak," tambah Dian.
Perjanjian eksklusif bertentangan dengan beberapa undang-undang. UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat melarang perjanjian eksklusif, pembatasan distribusi, dan penyalahgunaan posisi dominan. Selain itu, Pasal 1335 juncto Pasal 1320 KUH Perdata juga menyatakan bahwa "Perjanjian dinyatakan seolah-olah tidak ada karena melanggar undang-undang antimonopoli," jelas Dian.
"Kalau sampai KPPU menemukan bukti perjanjian eksklusivitas, maka perjanjian itu katakan batal demi hukum. Jadi perjanjian dianggap tidak ada sama sekali," tegas Dian.
Dian menekankan pentingnya peran KPPU dalam mengatasi masalah ini. KPPU harus lebih aktif melaksanakan investigasi sektoral, terutama di sektor otomotif. Dealer yang merasa dirugikan didorong untuk melaporkan praktik tidak adil ke KPPU. KPPU harus menindaklanjuti laporan tersebut untuk mencegah praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
"Dealer atau pengusaha bisa melaporkan kepada KPPU jika merasa perjanjian kerjasamanya ada unsur eksklusivitas," ujar Dian. Ia menegaskan bahwa dealer tidak perlu takut dengan perjanjian eksklusivitas, karena syarat sah berlakunya perjanjian adalah tidak boleh bertentangan dengan aturan perundangan, dalam hal ini UU 5/1999 sebagai "umbrella act" dari persaingan usaha yang sehat di sektor otomotif nasional.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan industri otomotif Indonesia bisa kembali bergairah, memberikan pilihan lebih banyak bagi konsumen, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat dan berkelanjutan, serta mencapai target pemerintah untuk penjualan 2 juta unit pada tahun 2030.
(lam)