LANGIT7.ID-Gorontalo; Peristiwa asusila yang terjadi di MAN 1 Gorontalo bukan hanya menggemparkan dunia pendidikan agama. Tetapi juga menggemparkan di dunia jagat luas. Lebih menyayat hati lagi, tindakan asusila ini dilakukan oleh seorang guru dan muridnya di sekolah agama yang cukup ternama dan berprestasi.
Tapi mau bagaimana lagi, sudah terlanjur terjadi. Tidak bisa lagi di hapus atau ditutup tutupi. Kasus ini seperti gunung berapi yang sedang meletus. Menimbulkan banyak korban dari para pelakunya sendiri, keluarga, sekolahnya, dan juga sekolah agama secara keseluruhan secara tidak langsung ikut terkena muntahan larva panasnya. Ngeri!
Tapi semua pihak harus tetap melihat dengan kepala dingin: mengapa kisah memilukan dan menyayat hati ini bisa terjadi pada guru dan siswi di MAN 1 Gorontalo. Apa yang salah? Mengapa temen temen siswinya yang sudah mencium bau tidak sedap itu tidak menghalangi atau mengingatkan sejak dini? Apakah guru guru yang lain juga tidak ada yang mencium aroma tidak sedap itu dari gelagat si guru? Jika di lingkungan sekolah sudah ada yang tahu tetapi mendiamkan, alangkah sedihnya. Kok bisa memilih diam. Kok bisa tidak menegor atau melapor. Tentu lingkungan sekolah harus ikut tanggungjawab.
Video berdurasi 6 menit dari "kisah kasih" di sekolah oleh guru dan siswi yang bernama Pasha Pratiwi Tioti, yang dikenal sebagai ketua organisasi siswa di MAN 1 Gorontalo itu ada baiknya tidak dilanjutkan oleh siapa pun penyebarannya. Baik berupa original videonya maupun part part dari video tidak pantas itu. Dengan cara tidak lagi menyebarkan, berarti ikut mendinginkan dan mengakhiri polemik video asusila ini.
Kalau toh saat ini dari pihak Pasha muncul pelurusan yang juga tersebar di publik lewat media sosial, anggap saja semoga pelurusan ini bisa menghentikan penghakiman pada diri Pasha.
Dalam rekaman tersebut, terdengar penuturan tentang kehidupan pribadi Pasha yang penuh tantangan pasca kepergian kedua orang tuanya (yatim piatu), serta aspirasi besarnya untuk melanjutkan studi demi masa depan yang lebih cerah.
Narasi dalam video tanggapan ini juga menguraikan rangkaian peristiwa yang dimulai dari komentar tak senonoh seorang oknum pendidik, berlanjut ke tindakan-tindakan yang melampaui batas. "Awalnya saya tak begitu menanggapi. Namun, perlahan terjadi sentuhan fisik yang tak wajar," demikian kutipan dari video tersebut. Sosok di video yang mengaku Pasha ini mengungkapkan kesalahannya dalam menafsirkan perilaku guru tersebut sebagai bentuk perhatian seorang figur ayah.
Video ini juga menyiratkan kebimbangan korban untuk melaporkan kejadian dan kekhawatiran akan konsekuensi terhadap masa depan akademiknya. Di penghujung rekaman, terdapat permohonan maaf atas kemungkinan salah paham dan imbauan agar publik tidak menghakimi berdasarkan potongan video semata.
Rekaman tanggapan ini akhirnya menyebar dengan cepat di berbagai platform media sosial, memicu beragam reaksi masyarakat. Namun, otoritas setempat segera angkat bicara. Pihak kepolisian dengan tegas menyatakan bahwa video klarifikasi tersebut adalah informasi palsu.
Yana Yanti Sulaeman, Kepala Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak Gorontalo, menegaskan bahwa korban saat ini tidak memiliki akses terhadap perangkat komunikasi pribadi. "Kami dapat memastikan bahwa video klarifikasi yang beredar adalah hoaks," tegas Sulaeman. Tapi ada baiknya tetap dilakukan check and recheck lagi tentang benar tidaknya video susulan dari Pasha itu.
Sementara itu, Polres Gorontalo telah mengamankan tersangka. Pelaku kini menghadapi ancaman hukuman berdasarkan UU Perlindungan Anak, dengan kemungkinan hukuman penjara antara 5 hingga 15 tahun.
Insiden ini telah menarik perhatian luas dan memicu diskusi serius di tengah masyarakat. Publik kini menanti perkembangan proses hukum yang sedang berlangsung, dengan harapan keadilan dapat ditegakkan.(*)
(lam)