LANGIT7-Jakarta,- - KH Miftachul Akhyar adalah pimpinan tertinggi di jamiyah Nahdlatul Ulama (NU). Kiai asal Surabaya ini menjabat sebagai Rais Aam PBNU 2022-2027.
Pengasuh Pesantren Miftachussunnah Surabaya ini merupakan putra kedelapan dari tiga belas bersaudara dari KH Abdul Ghoni.
Bagaimana kisah perjalanan Kiai Miftah saat masih menjadi santri hingga saat ini sebagai pimpinan paling tinggi di NU?
Menuntut ilmu di pondok pesantren atau nyantri menjadi pengalaman berharga bagi banyak orang. Termasuk bagi tokoh yang saat ini memimpin organisasi Nahdlatul Ulama, KH Miftachul Akhyar.
Kiai Miftah pernah menceritakan pengalamannya sebagai santri. Menurutnya, pendidikannya semasa kecil ada di lingkungan rumah, pernah sekolah di Sekolah Rakjat atau SR (kini SD) namun hanya sampai kelas 5 saja.
Baca juga:
Profil Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal yang Ditunjuk Jadi Menteri Agama“Sejak kecil saya pendidikannya ya di rumah, dulu ada sekolah SR, ikut pendidikan itu sampai kelas 5. Jadi kemungkinan usia-usia yang masih 8 tahun, lalu mondok,” kata Kiai Miftach dikutip dari
NU Online. Nyantri di Tambak Beras dan Sidogiri Kiai Miftach menyampaikan bahwa ia pernah nyantri di Tambak Beras Jombang. Namun durasinya tidak begitu lama.
“Mondoknya ini pernah ke Tambak Beras, tapi sejak kecil,” ucap kiai yang pernah menjadi Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur masa khidmah 2007-2015 ini.
“Kira-kira tiga tahun di Tambak Beras, ya belum selesai, lalu pindah pada tahun 1967-1969 saya di Sidogiri, saya sampai kelas satu tsanawiyah. Jadi sempat ikut ujian MI-nya, ibtidaiyahnya, kan sana diakui ya,” tambahnya.
Kiai Miftach melanjutkan ceritanya, ia pernah berhenti sejenak mondok selama satu tahun pada 1970-an. Kiai Miftah sampai kena marah abahnya.
“Setelah itu kira-kira tahun 1970-an, saya di rumah, istilahnya tidak mondok lah. Setelah satu tahun di pondok, abah marah terus karena saya sudah mutung, tidak mau mondok sampai-sampai saya tidak disapa selama satu tahun, tidak diperhatikan,” bebernya.
“Baru saya sedikit ada kesadaran, kalau begini terus saya bagaimana? Pergaulan hampir terpengaruh dengan anak-anak di Surabaya. Alhamdulillah akhirnya timbul kesadaran, saya mau mondok lagi, tapi saya meminta pondok yang tidak ada sekolahnya,” ungkap Kiai Miftach.
Lanjut nyantri di Lasem Setelah timbul kesadaran dan memberikan persyaratan jika mondok kembali, akhirnya Kiai Miftach melanjutkan kembali perjalanannya nyantri dan Pesantren Al-Ishlah Lasem asuhan Syekh Masduqi.
“Akhirnya di Lasem itu, tahun 1971 saya mondok di lasem. Alhamdulillah sampai 3 tahun, tahun 1974 saya pulang,” ungkapnya.
Rencananya, jelas Kiai Miftah, saat pulang itu dirinya hendak melanjutkan belajar di Makkah di tempat Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki, namun karena sakit rencana tersebut terpaksa kandas.
“Waktu pulang itu saya maunya ke Makkah, karena waktu itu Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki mau menerima pelajar atau santri dari Indonesia, tapi saya sakit selama satu tahun. Akhirnya tidak jadi ke Makkah,” jelasnya.
“Di pertengahan sakit itu, keluarga dari Lasem datang ke Surabaya untuk menikahkan saya. Jadi saya nikah usia muda, kira-kira 21-22 tahun, tahun 1975 menikah, kira-kira sampai tahun 77 saya di Lasem, setelahnya saya bawa ke Surabaya,” tambahnya.
Menurut Kiai Miftach, alasan dirinya mondok di Lasem adalah karena petunjuk dari kakak iparnya.
“Saya di Lasem di Kiai Masduqi, di Al-Ishlah, karena kebetulan kakak ipar saya sekurun dengan Kiai Mustofa Lekok, Kiai Dahlan Al-Hafidz Peneleh itu, mondoknya bersama jadi satu, ini yang memberi petunjuk saya untuk ke Lasem,” urainya.
“Bahkan saya diantar ke Lasem, jadi ke sana tidak diantar oleh abah karena masih marah, baru sekitar dua bulan abah baru nyambangi karena saya mau mondok lagi. Ya seperti itulah pengalaman, jadi tidak banyak,” imbuh Kiai Miftach.
Nyantri dengan Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki Sekitar tahun 1977-1978, keinginan Kiai Miftach untuk mengaji dengan Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki terwujud.
Namun sedikit berbeda daripada keinginan awalnya, kali ini Kiai Miftach di Malang pada saat Sayyid Muhammad sedang ada di sana.
“Kira-kira tahun 1977-1978 itu kan Sayyid Muhammad ke Indonesia, beliau tinggal di Malang, saya dipanggil. Ada 15 pemuda dipanggil untuk ikut daurah, tiap Sabtu-Rabu, saya di Malang, nanti pulang, itu berjalan sampai 6-8 bulan. Itu daurah ula, tapi setelah itu tidak ada daurah lagi,” jelas Kiai Mitach.
“Jadi pada saat itu ada Kiai Masbuchin, Kiai Muchith, Kiai Midkhal, dari Langitan ada, ada 15 dari luar Jawa. Dari Sarang ada Gus Najih tapi masih kecil dan datangnya menyusul,” imbuh dia.
(ori)