Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Selasa, 20 Mei 2025
home wisata halal detail berita

Maldives-nya Indonesia Ada di Depan Mata, Tapi Sayang Belum Banyak Yang Tahu

tim langit 7 Kamis, 17 April 2025 - 20:30 WIB
Maldives-nya Indonesia Ada di Depan Mata, Tapi Sayang Belum Banyak Yang Tahu
LANGIT7.ID-Jakarta; Pernah dengar tentang Pulau Astabun? Tentu saja ada yang belum, dan itu wajar. Pulau ini hanya satu dari 65 pulau di Kepulauan Tanimbar, dan saya sendiri bahkan belum pernah mendengar nama kepulauan ini, padahal sudah menjelajahi banyak tempat terpencil di Indonesia.

Padahal, Kepulauan Tanimbar—yang terletak 550 kilometer di utara Darwin—adalah salah satu wilayah Indonesia yang paling dekat dengan Australia. Suatu pagi, saya melihatnya dari dek kapal Scenic Eclipse II: daratan rendah, dipenuhi hutan lebat, dengan pantai berpasir seputih bubuk deterjen.

Pulau-pulau ini bisa menjadi Maldives-nya Indonesia, tapi negeri ini punya terlalu banyak pulau, sehingga tempat seperti ini sering terlewatkan—kecuali oleh 130.000 penduduk lokal dan sesekali ahli burung yang berharap menemukan spesies endemik langka.

Seperti banyak kepulauan menakjubkan di utara Australia, Kepulauan Tanimbar sulit dijangkau kecuali dengan kapal ekspedisi. Dan jika Anda melakukannya, perjalanan akan terasa sangat nyaman.

Maldives-nya Indonesia Ada di Depan Mata, Tapi Sayang Belum Banyak Yang Tahu

Scenic Eclipse II membawa saya ke sini dari Cairns, melewati Lizard Island dan Thursday Island. Sementara saya menikmati eggs benedict di restoran Yacht Club yang ber-AC, tim ekspedisi yang berkeringat sudah melakukan semua pekerjaan berat.

Saya hanya perlu naik ke kapal karet, dan tak lama kemudian sudah mendarat di pantai seperti Robinson Crusoe—meski saya yakin Crusoe tidak disambut dengan handuk dan mimosa dingin oleh pelayan berbaju rapi.

Pantai ini layak masuk daftar impian, tapi Indonesia mungkin punya ribuan pantai serupa. Pasirnya begitu halus sampai berderit. Formasi batuan dengan pohon-pohon kecil seperti bonsai menciptakan pemandangan indah. Hanya jejak kepiting yang terlihat sebelum kami tiba.

Airnya biru seperti... sebenarnya tidak ada yang bisa dibandingkan, karena tidak ada yang sebiru perairan tropis dangkal ini: seperti kejutan listrik yang membangunkan Anda dari kehidupan sehari-hari yang monoton. Saya menceburkan diri, mengambang di atas air, dan merasa sangat bahagia kembali ke Indonesia—meski masih 1.800 kilometer dari Bali.

Sungguh mengejutkan betapa sedikit orang Australia yang mengenal Indonesia, meski bisa dimaklumi mengingat lokasi pulau-pulau ini yang terpencil serta infrastruktur dan hotel yang belum memadai. Tapi kapal ekspedisi seperti Scenic Eclipse II mengatasi semua masalah itu dengan sempurna.

Kapal hibrida ini—separuh kapal pesiar mewah, separuh kapal ekspedisi—membawa 228 penumpang dengan kenyamanan maksimal. Makanannya istimewa: hidangan Mediterania, Asia, Prancis, serta salah satu prasmanan siang terbaik di laut dengan pilihan yang selalu berubah.

Saat kami berlayar dari satu pulau ke pulau lain, *butler* memenuhi segala keinginan di kapal, sementara tim ekspedisi—ahli alam dan biologi kelautan—membawa kami ke desa-desa dan terumbu karang.

Rasanya seperti curang bisa sampai ke tempat terpencil semudah ini, tapi nuansa petualangan tetap terasa. Keesokan harinya, kami tiba di Kepulauan Kai—gugusan pulau indah lain yang belum terjamah, kecuali oleh segelintir backpacker pemberani (terlihat dari beberapa gubuk pantai reyot).

Maldives-nya Indonesia Ada di Depan Mata, Tapi Sayang Belum Banyak Yang Tahu

Pantai berderet kelapa sepanjang kilometer itu sepenuhnya milik kami. Tim ekspedisi mengantar kami dengan kapal karet ke ponton mengapung, tempat kami bisa snorkeling di atas dasar laut yang dipenuhi karang menakjubkan dan ikan-ikan warna-warni.

Destinasi berikutnya sangat saya nantikan karena saya banyak membaca sejarah Kepulauan Rempah. Pemandangan Banda Neira memukau: perairan seperti pelabuhan yang dikelilingi pulau-pulau dengan gunung berapi di tengahnya.

Penduduk lokal menyambut kami dengan kora-kora—perahu perang tradisional panjang yang didayung 30 orang bertelanjang dada, dengan seorang penabuh drum mengatur irama.

Tapi tidak ada kesan perang dari warga desa. Sapaan ramah dan tawa anak-anak menemani kami saat pemandu lokal mengajak melihat benteng peninggalan Belanda dan perkebunan pala serta kayu manis yang harum. Saya juga sempat menjelajahi pasar ikan dan kelenteng Tionghoa sendirian. Kucing dan anak-anak berkeliaran di depan rumah.

Saat kami berlayar menyusuri Indonesia, keberagaman sejarah, lanskap, budaya, agama, dan satwa liar terus membuat takjub—baik melalui tur darat maupun briefing harian oleh tim ekspedisi Scenic.

Kami telah melewati Garis Lydekker yang memisahkan dua zona biogeografis, dan sebentar lagi akan melintasi Garis Weber dan Garis Wallace yang terkenal.

Kami berpindah dari pulau Kristen ke Muslim lalu Hindu. Alor mayoritas Protestan tetapi masih mempertahankan kepercayaan animisme, dengan 15 bahasa Papua serta pengaruh Melayu dan Belanda.

Ini adalah pulau pertama dari rangkaian pulau besar yang membentang ke arah Bali—semuanya bergunung-gunung, sebagian ditutupi hutan lebat, lainnya gersang.

Berlayar memasuki Alor di pagi hari melalui selat sempit di antara pulau-pulau terasa ajaib. Kabut menyelimuti perbukitan biru, lumba-lumba melompat di haluan kapal, dan ubur-ubur berenang di air jernih seperti karya seni pointilisme.

Pasar Alor penuh sayuran hijau, pepaya, dan ikan. Desa-desa di tengah hutan ramah menyambut, dengan suara alat tenun ikat berdetak. Pulau-pulau kecil menawarkan snorkeling sore hari di atas karang yang seperti patung modern.

Ikan-ikan dengan warna dan pola ekor yang norak berenang di sekitar kami.

Saat kapal berangkat, saya berdiri di Sky Deck dengan koktail di tangan, es batu berbunyi gemerincing. Di waktu lain, saya mungkin berada di Observation Terrace di haluan kapal atau di Azure Cafe di buritan, menikmati kopi enak, kue lezat, dan keramahan pelayan—yang paling ramah dibanding kapal mana pun yang pernah saya naiki.

Malam itu, saya makan di Koko’s Asian Fusion, menyantap sup kelapa ala Thailand, udang madu-saffron, dan sisig—hidangan daging babi khas Filipina yang lezat. Malam berikutnya, saya mencoba menu degustation di Lumiere, mulai dari amuse-bouche kaya jamur, sup bawang Prancis karamel, hingga tart Normandy dengan es krim kayu manis.

Hari-hari berlalu, masing-masing memperlihatkan keajaiban Indonesia: Larantuka di Flores dengan katedral merah mudanya yang mirip istana Disney; Taman Nasional Kelimutu dengan danau kawah biru menyala; Komodo dengan kadal raksasa 150 kilogram.

Semua orang ingin melihat komodo, tapi kejutan sesungguhnya adalah pemandangan Komodo: gunung-gunung landai, gunung berapi perkasa, dan teluk hijau yang memesona. Pasirnya merah muda, airnya dipenuhi terumbu karang.

Sore yang indah dihabiskan dengan snorkeling, paddle boarding, dan mencoba Seabob—skuter bawah air bertenaga baterai—sebelum minum koktail di bar pantai dadakan yang dikelola kru Scenic.

Kembali ke kabin yang luas dan sejuk, semuanya sudah rapi. Minum di Scenic Bar. Briefing informatif dari tim ekspedisi di teater kapal. Makan malam di Elements: tart camembert dengan selai bawang, steak tuna kuning dengan saus jahe dan kecap jeruk.

Kami semakin dekat ke Bali, tapi rasanya masih jauh. Pulau Sumbawa hampir tak dikunjungi turis. Budaya Makassar kuat di sini, dan kami beruntung bisa menyaksikan balapan kerbau—pertunjukan singkat namun seru: lumpur, air, otot hewan, dan keterampilan penduduk yang menunggang kereta kayu ringkas di antara dua kerbau yang berlari kencang.

Setelah dua minggu berlayar, dunia turis baru terasa lagi di Lombok saat kami berlabuh di Senggigi, dengan deretan resort dan bar.

Tapi saya memilih ekskursi ke Mambalan, desa yang dikelilingi sawah. Kunjungan ke desa-desa menjadi sorotan perjalanan ini—memperlihatkan kerajinan tradisional, tarian, dan kesempatan bertemu penduduk lokal yang pemalu tapi hangat.

Orang Australia tahu orang Bali ramah dan menawan, tapi mereka bukan satu-satunya di Indonesia. Keramahan universal ini adalah alasan lagi untuk menjelajahi salah satu destinasi terbaik dunia—yang sebenarnya ada di depan mata, tapi seolah tersembunyi.

Detail Perjalanan

Scenic menawarkan dua rute berbeda di Indonesia tahun ini:
- "Discover Komodo & the Spice Islands" (15 hari), berangkat dari Denpasar (Bali) ke Darwin pada 6 Juli 2025, mulai dari $23.975/orang.
- "Secrets of Indonesia: Spice Islands & Raja Ampat" (15 hari), pulang-pergi dari Darwin pada 27 September 2025, mulai dari $21.245/orang.

Kedua rute memiliki beberapa perbedaan destinasi dengan yang diceritakan di sini. Harga sudah termasuk makan, minuman, Wi-Fi, tip, dan ekskursi darat. Info lebih lanjut:[scenic.com.au](https://www.scenic.com.au)(*/saf/shm.com)

(lam)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Selasa 20 Mei 2025
Imsak
04:25
Shubuh
04:35
Dhuhur
11:53
Ashar
15:14
Maghrib
17:47
Isya
18:59
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Jumu'ah:8 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ اِنَّ الْمَوْتَ الَّذِيْ تَفِرُّوْنَ مِنْهُ فَاِنَّهٗ مُلٰقِيْكُمْ ثُمَّ تُرَدُّوْنَ اِلٰى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ ࣖ
Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
QS. Al-Jumu'ah:8 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan