LANGIT7.ID-Jakarta; Pemerintah Indonesia kembali menjadi sorotan Amerika Serikat (AS) terkait kebijakan larangan ekspor bijih nikel. Dalam laporan tahunan 2025 National Trade Estimate (NTE) yang dirilis Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR), Washington mengutarakan kekhawatirannya atas kebijakan ini karena dinilai mengganggu rantai pasok global, khususnya di sektor baja dan aluminium.
“Amerika Serikat menyatakan keprihatinan atas dampak larangan ekspor ini terhadap sektor baja, aluminium, dan sektor lainnya, serta kontribusinya terhadap kelebihan kapasitas global,” tulis USTR dalam laporan tersebut, dikutip Selasa (23/4/2025).
Namun bagi Indonesia, kebijakan ini adalah bagian dari strategi jangka panjang untuk memperkuat hilirisasi industri dan meningkatkan nilai tambah produk tambang di dalam negeri. Larangan ekspor bijih mineral, termasuk nikel, bauksit, tembaga, dan timah, diatur melalui revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang diberlakukan sejak 2020.
Sebelumnya, AS juga telah mengambil langkah aktif di forum internasional. Pada 11 Desember 2019, Negeri Paman Sam mengajukan permintaan bergabung dalam konsultasi yang dilakukan Uni Eropa terhadap kebijakan ekspor Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Bahkan, AS menjadi pihak ketiga dalam proses panel penyelesaian sengketa. Panel tersebut kemudian mengeluarkan keputusan pada 30 November 2022, menyatakan kebijakan ekspor nikel Indonesia tidak sejalan dengan kewajiban sebagai anggota WTO. Pemerintah Indonesia pun langsung mengajukan banding pada 12 Desember 2022.
Tak berhenti di sektor mineral, laporan USTR juga menyoroti regulasi Domestic Market Obligation (DMO) yang berlaku di sektor minyak dan gas. Dalam sistem kontrak kerja sama, termasuk skema gross split, perusahaan diwajibkan menjual 25 persen hasil produksi minyak mentahnya untuk kebutuhan dalam negeri. Penetapan harga jual yang lebih rendah dari harga pasar global disebut menjadi hambatan tersendiri bagi investor asing.
“Kebijakan DMO ini menciptakan tekanan tambahan bagi investor energi asing karena harga jual domestik yang ditetapkan jauh di bawah nilai pasar internasional,” ujar USTR.
Meski demikian, Pemerintah AS menegaskan bahwa pihaknya tidak tinggal diam. Washington akan terus memantau kebijakan Indonesia dan mendesak Jakarta untuk tetap mematuhi aturan perdagangan internasional di bawah naungan WTO. Namun di tengah tekanan global, Indonesia tampaknya tetap berkomitmen menjalankan agenda hilirisasi dan kemandirian industri nasional.
(lam)