LANGIT7.ID, Jakarta -
Efek dari media sosial ini di masa depan belumlah mendapat ruang lebih dalam untuk diteliti atau dianalisis. Namun kebanyakan orang tua sudah mulai mengeluhkan dampak media sosial ini terhadap anak-anak mereka.Oleh: Muhamad AliMark Zuckerberg, pemilik platform media Facebook, Instagram, dan Whatsapp baru saja minta maaf. Gara-garanya layanan tersebut sempat kolaps dan tidak bisa digunakan oleh miliaran warganet di seluruh dunia. Termasuk di Indonesia.
Kita melihat, betapa mengerikannya derajat ketergantungan kita pada suatu platform atau sistem. Media sosial adalah raksasa yang luar biasa mengatur hidup setiap individu dan membuatnya tergantung sepanjang waktu.
Baca Juga: Tentang Vaksinasi dan Kehidupan dari Pandemi ke EndemiSaya jadi ingat, ketika
fast food (makanan cepat saji) berkembang menjadi kebudayaan global, orang ramai-ramai menyambutnya dengan gegap gempita. Industri ini menghadirkan gaya hidup baru yang berbeda dari gaya hidup lama, bukan semata-mata dari jenis makanan dan minumannya, tetapi juga dari cara menikmatinya.
Budaya nongkrong, bercengkrama, berkumpul, berdiskusi, atau mengajak bersenang-senang, adalah bagian tak terpisahkan dari arus industri makanan/minuman cepat saji ini. Oleh karena itu, tak hanya remaja, anak-anak dan orang tua pun menyukainya.
Kelebihan dari model bisnis ini adalah kemampuannya menduplikasi produk dan layanan dalam waktu cepat di segala tempat. Jika pada tahun 1980-an industri ini baru berkembang di kota-kota utama di seluruh dunia, hanya dalam waktu kurang dari sepuluh tahun ia sudah mampu merambah ke kota-kota menengah hingga kecil, di negara maju maupun miskin sekalipun.
Baca Juga: Mobilitas yang Menggeliat, Ekonomi yang Masih SekaratJika pada awal kehadirannya makanan cepat saji hadir dengan citarasa yang seragam, dalam perjalanannya ia mampu beradaptasi dengan citarasa dan selera lokal. Kelebihan lainnya tentu saja terletak pada pemanfaatan teknologi pemrosesan/pengolahan dan penyimpanan makanan, sistem pemesanan yang berbasis teknologi informasi, sehingga menghasilkan pengelolaan logistik yang efektif, distribusi layanan yang cepat dan standar, dan operasional kios yang sangat efisien.
Akan tetapi, setelah berkembang selama puluhan tahun dan menjadi industri yang luar biasa hegemonik di seluruh dunia, makanan cepat saji kini mulai dipertanyakan dan dikritik banyak pihak. Ia dicap sebagai makanan sampah,
junk food. Ia dituding penyebab obesitas di kalangan anak-anak. Ia dicap sebagai sumber penyakit bagi sebagian orang tua. Lebih jauh lagi, ia dituduh menjadi bagian dari perang kebudayaan global yang menghancurkan kebudayaan dan keragaman makanan lokal.
Saya melihat kesamaan atau kesejajaran antara budaya
fast food ini dengan media sosial hari ini.
Fast-food adalah pemenuhan kebutuhan fisik yang paling dasar manusia dan kemudian dikonversi menjadi gaya hidup. Media sosial hari ini, sudah menjadi semacam kebutuhan fisik dasar, menggantikan kebutuhan manusia akan makan dan minum.
Baca Juga: Mendigitalkan Kehidupan Kerja dari Ujung ke UjungEfek dari media sosial ini di masa depan belumlah mendapat ruang lebih dalam untuk diteliti atau dianalisis. Namun kebanyakan orang tua sudah mulai mengeluhkan dampak media sosial ini terhadap anak-anak mereka. Ketergantungan itu telah menimbulkan kekhawatiran yang sama dengan kekhawatiran para orang tua terhadap obesitas akibat serbuan
junk food atau
fast food.
Namun kebanyakan dari kita sepertinya belum menyadari sepenuhnya, bahwa efek dari ketergantungan terhadap media sosial, bisa menjadi sangat ekstrem dan radikal, sehingga nilai-nilai lama tentang psikologi, filsafat, antropologi, dan agama, bisa berada di dalam situasi kritikal, karena tersedia paradigma, nilai-nilai, dan pandangan baru yang membongkar yang lama.
Pemerhati Human Capital Management(asf)