LANGIT7.ID, Subang - Bertato tapi ngaji. Pemandangan tersebut lazim terlihat jika berkunjung ke Pesantren Raudhatul Hasanah, Subang, Jawa Barat. Konsep dasar pesantren ini memang memeluk hati orang-orang termarjinalkan di tengah masyarakat, seperti anak-anak jalanan hingga preman.
Istilah yang pertama kali terlintas di benak saat melihat mereka adalah santri rock and roll. Sebuah pemandangan yang menghiasi layar kaca, namun ternyata ada di kehidupan nyata. Mayoritas santri memang berasal dari preman yang taubat. Maka, tak perlu terkejut jika melihat ada santri yang bertato dengan telinga berlobang bekas anting.
Kilas balik para santri ini tidak terlepas dari peran Kiai Haji Muhammad Abdul Mu’min atau akrab disapa Kiai Maung. Di Subang, sosok Kiai Maung sudah terkenal di kalangan preman maupun anak-anak jalanan. Ia tumbuh di lingkungan keras. Berkawan dengan preman sudah menjadi asam garam dalam kehidupannya.
Pendekatan dakwah Kiai Maung membuat para warga sekitar begitu segan, sebab memberikan keteladanan dalam mendidik anak jalanan yang dianggap rendah masyarakat. Bahkan, Kiai Maung kerap mengumpulkan semua santri. Ia menyuapi mereka, lalu meminta maaf ke para santri. Sederhana tapi sangat bermakna bagi mereka. Di sisi lain, ia memperlakukan para santri seperti anak sendiri, juga kawan ngobrol dan bahkan teman ngopi.
“Meminta maaf itu sangat susah di negara ini. Banyak orang hanya merasa benar,” kata Kiai Maung saat berbincang dengan LANGIT7.ID di Pesantren Raudhatul Hasanah, Subang, Jawa Barat, Rabu (17/11/2021).
Pendekatan keteladanan itu membuat karakter santri sangat kuat. Jika berbicara soal adab, santri-santri Raudhatul Hasanah patut diacungi jempol. Mereka tidak berani meninggikan suara di hadapan Kiai maung. Apalagi lewat di depan beliau tanpa permisi.
Seperti pemandangan hari ini. Hujan sangat deras. Seorang santri tengah duduk di ujung bangunan masjid, menunggu hujan reda. Namun, saat mendengar panggilan Kiai maung, ia berlari tanpa menghiraukan hujan. Saat sampai, ia menunduk, dan memasang badan siap menerima perintah. “Saya mendidik mereka dengan tegas, disiplin, tapi pakai hati,” ucapnya.
Memang, Kiai Maung memiliki latar belakang tasawuf. Ia menerapkan nilai-nilai tasawuf saat mendidik para santri maupun bergaul dengan para preman. Ia mengaku cara itu sangat efektif. Tasawuf membawa mereka mengenal diri sendiri, tidak merasa paling benar sendiri dan selalu menundukkan hati di hadapan Allah Ta’ala. Penyakit-penyakit hati seperti riya dan sombong tercerabut dari hati mereka.
Hal itu yang membuat para santri di sini berbeda. Meski berpenampilan layaknya preman, tapi soal akhlak dan adab tak perlu ditanya. Saat ngobrol dengan para tamu pun, adab mereka sangat terlihat. Lemah-lembut, dan penuh senyuman.
“Santri dididik untuk bisa hidup dan bisa memahami kehidupan. Saya ajari mereka, tidak boleh ada kebencian, semua yang ada di alam semesta ini adalah makhluk Allah,” ucapnya.
Kiai Nyentrik![Pesantren Raudhatul Hasanah Subang, The Real Pesantren Rock and Roll]()
Kiai Maung adalah sosok yang sangat unik. Ia dikenal sebagai kiai nyentrik. Ia berbeda dengan kiai-kiai pesantren pada umumnya. Rambut dibiarkan memanjang. Aksesoris preman lengkap. Ia juga melakoni hobi anak-anak muda, seperti touring dan motocross. Ia bahkan menjadi pembina spiritual untuk anak-anak motor dan perkumpulan mobil setempat.
Dari perkumpulan itu, ia kerap menyisipkan nilai-nilai Islam tiap kali bersenda gurau. “Misalnya kita ngobrol soal premanisme, saya ikut, ketawa-ketawa. Tapi di akhir, dengan nada bercanda saya bilang, ‘tapi akhirnya kita mati yah.’ Singkat tapi masuk ke hati mereka,” kata Kiai Maung.
Dalam mendidik santri pun demikian. Ia tak menggunakan kekerasan. Ia mendidik para santri disiplin dan bertanggung jawab. Pendekatannya pun dengan keteladanan. Hal itu yang membuat karakter santri di sini sangat kuat.
Secara spiritual, para santri aktif puasa sunnah seperti puasa Daud dan puasa Senin-Kamis. Itu salah satu cara mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Para santri melakukan itu tanpa dipaksa. Berkat keteladanan dan pendidikan tanggung jawab yang ditanamkan sejak awal, membuat mereka melakukan dengan ikhlas.
Filosofi Raudhatul HasanahKiai Maung memilih nama Raudhatul Hasanah bukan tanpa alasan. Ada filosofi menarik dibaliknya. Ia menyebut ada dua makna di balik nama itu. Raudhah berarti taman, sementara hasanah baik. Artinya, taman yang indah.
“Subang ini gersang, dalam arti dua makna, gersang secara medan, karena panas, dan gersang dari segi ilmu. Jadi, taman yang indah mudah-mudahan memberi keindahan di kota ini,” ucapnya.
Nama itu tercipta dari pengalaman Kiai Maung. Saat masih berkelana, ia menyaksikan banyak anak-anak ngelem di pasar. Setiap malam nongkrong dilengkapi dengan miras. “Aku bilang negara bisa hancur kalau generasinya begini. Akhirnya pada saat itu saya ngontrak, tidak ada modal apapun kecuali modal Laa ilaha illallah. Modalnya bukan nekat, tapi yakin,” ucapnya.
Namun, Kiai Maung tidak meneriaki mereka dengan halal haram. Ia bergaul dengan mereka, lalu memperlihatkan keteladanan nilai-nilai Islam, mengajak secara perlahan, dan memberikan contoh, sehingga hati mereka tersentuh.
Perjalanan Raudhatul Hasanah dimulai pada 2002 silam. Kala itu, Kiai Maung bersama istri mengontrak rumah di daerah Karanganyar, pusat kota Subang, Jawa Barat. Meski sempat pindah-pindah, tapi kontrakan itu menjadi cikal-bakal Pesantren Raudhatul Hasanah.
Pamor Kiai Maung yang terkenal di kalangan preman, membuat beberapa anak ikut ngontrak di tempat tersebut. Awalnya, hanya ada 4 santri yang menetap. Ditambah anak-anak sekitar yang selalu ikut ngaji ke Kiai Maung.
“Dari 4 orang itu, saya biayai mereka sekolah. Saya jadi kuli panggul di pasar, untuk biayai mereka sekolah. Bahkan saya kuliahkan. Anak-anak saya dorong sekolah. Akhirnya mereka mau. Jadi kita enjoy di sini, dengan kehidupan seperti itu,” ucapnya.
Ketulusan Kiai Maung mendidik santri-santri menemukan arti hidup membuatnya melakoni profesi apa saja, asal halal. Ia pernah jualan kalender sampai kuli panggul di pasar, hanya untuk membiayai sekolah mereka. “Tapi, dari kontrakan itu, sekarang sudah ada yang punya Perguruan Tinggi dan Sekolah Besar,” tutur Kiai Maung.
Lambat laun, Raudhatul Hasanah berkembang. Saat ditanya jumlah santri, Kiai Maung tak mampu menjawab. “Saya tidak tahu jumlah santri, banyak, ada di mana-mana. Yang mukim saja, ada banyak,” ucapnya.
Tak heran, banyak anak-anak geng motor hingga anak jalanan kerap datang ke Kiai Maung untuk sekadar silaturahim maupun belajar agama. Kiai Maung menganggap mereka semua sebagai santri. Sementara para santri yang mukim tetap bersekolah di luar pesantren. Dan Kiai Maung mengonsep pesantren layaknya rumah untuk para santri-santrinya.
(jqf)