Untuk memahami arti suatu kata dalam rangkaian redaksi suatu ayat, seorang terlebih dahulu harus meneliti apa saja pengertian yang dikandung oleh kata tersebut.
Pada masa al-salaf al-awwal, ulama-ulama enggan menggunakan takwil atau memberi arti metaforis bagi teks-teks keagamaan. Imam Malik (w. 795 M), misalnya, enggan membenarkan seseorang berkata langit menurunkan hujan.
Dari satu sisi, apa yang ditekankan itu ada benarnya dan dapat diperkuat dengan kenyataan yang berkaitan dengan Al-Quran yang diyakini sebagai berdialog dengan seluruh manusia sepanjang masa.
Banyak cara pendekatan dan corak tafsir yang mengandalkan nalar. Ada yang membagi metode tafsir menjadi empat macam metode, yaitu tahliliy, ijmaliy, muqaran dan maudhu'iy.
Karena adanya dua kemungkinan ini, maka tidak setiap perubahan sosial dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menarik kesimpulan pemahaman atau penafsiran ayat-ayat Al-Quran
Al-Quran memerintahkan kita untuk merenungkan ayat-ayatnya dan mengecam terhadap mereka yang sekadar mengikuti pendapat atau tradisi lama tanpa suatu dasar. Itu sebabnya setiap manusia dituntut untuk memahami Al-Quran.
Kalau pada masa Rasul SAW para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab, dan Ibnu Mas'ud.
Diriwayatkan oleh Imam Malik bahwa Said Ibn Musayyab, bila ditanya mengenai tafsir suatu ayat, beliau berkata: Kami tidak berbicara mengenai Al-Quran sedikit pun.
Kisah Ibnu Abbas: Sepupu Nabi Muhammad SAW yang Menjadi Ulama Besar. Berkat doa khusus Rasulullah, ia tumbuh menjadi ahli tafsir Al-Quran termasyur. Kecerdasan dan metode belajarnya yang unik - mengejar ilmu hingga ke rumah para sahabat - menjadikannya rujukan utama dalam Islam.