Abu Nawas dan Bayi yang Diperebutkan: Ketika Keadilan Datang Bersama Tawa
Miftah yusufpati
Jum'at, 01 Agustus 2025 - 04:15 WIB
Dalam dunia yang penuh tipu daya, kisah ini mengajarkan bahwa niat baik dan cara yang bijaksana akan mengantar kita pada keadilan. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID-Abu-Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami (756–814), yang lebih akrab dikenal sebagai Abu Nawas, bukan sekadar penyair besar dalam khazanah sastra Arab klasik. Ia juga seorang filsuf jenaka, pujangga nyentrik, dan menurut banyak kisah dari Seribu Satu Malam, seorang sufi dengan cara berpikir tak terduga. Salah satu kisah paling menggelitik tentangnya muncul dari sebuah peristiwa mirip hikayat Nabi Sulaiman: dua perempuan memperebutkan seorang bayi yang sama.
Kala itu, Baginda Harun al-Rasyid tengah pusing tujuh keliling. Sudah berhari-hari dua orang perempuan ribut di pengadilan, masing-masing bersikeras bahwa bayi lucu nan polos itu adalah anak kandungnya. Hakim kerajaan kehabisan cara. Baginda pun turun tangan dengan gaya rayu halusnya — mungkin berharap salah satu perempuan akan mengalah karena merasa bersalah. Tapi kenyataannya, kedua perempuan justru makin keras kepala. Alih-alih menyerah, mereka malah saling melotot.
Karena urusan makin ruwet, Baginda akhirnya memanggil Abu Nawas, seperti biasa bila logika manusia sudah mentok. Abu Nawas datang dengan wajah tenang dan janggut yang tampak lebih keriting dari biasanya. Ia mendengarkan kisah dua perempuan itu, lalu berkata dengan kalem, “Putusan akan saya jatuhkan besok pagi.”
Baca juga: Proyek Raksasa Abu Nawas: Mengangkat Istana ke Gunung Memakai Humor
Banyak orang mengira Abu Nawas sedang menyusun strategi jenius. Padahal sebenarnya ia menunda karena algojo kerajaan sedang cuti.
Keesokan harinya, sidang dilanjutkan. Abu Nawas berdiri dengan wajah serius, ditemani algojo yang membawa pedang panjang mengkilat. Ia memerintahkan agar bayi diletakkan di atas meja kayu di tengah ruangan. Semua yang hadir menahan napas. Kedua perempuan itu mulai terlihat gugup.
“Sebelum saya mengambil tindakan,” ujar Abu Nawas, “apakah ada di antara kalian yang rela menyerahkan bayi ini kepada lawan, demi menyelamatkan nyawanya?”
Kala itu, Baginda Harun al-Rasyid tengah pusing tujuh keliling. Sudah berhari-hari dua orang perempuan ribut di pengadilan, masing-masing bersikeras bahwa bayi lucu nan polos itu adalah anak kandungnya. Hakim kerajaan kehabisan cara. Baginda pun turun tangan dengan gaya rayu halusnya — mungkin berharap salah satu perempuan akan mengalah karena merasa bersalah. Tapi kenyataannya, kedua perempuan justru makin keras kepala. Alih-alih menyerah, mereka malah saling melotot.
Karena urusan makin ruwet, Baginda akhirnya memanggil Abu Nawas, seperti biasa bila logika manusia sudah mentok. Abu Nawas datang dengan wajah tenang dan janggut yang tampak lebih keriting dari biasanya. Ia mendengarkan kisah dua perempuan itu, lalu berkata dengan kalem, “Putusan akan saya jatuhkan besok pagi.”
Baca juga: Proyek Raksasa Abu Nawas: Mengangkat Istana ke Gunung Memakai Humor
Banyak orang mengira Abu Nawas sedang menyusun strategi jenius. Padahal sebenarnya ia menunda karena algojo kerajaan sedang cuti.
Keesokan harinya, sidang dilanjutkan. Abu Nawas berdiri dengan wajah serius, ditemani algojo yang membawa pedang panjang mengkilat. Ia memerintahkan agar bayi diletakkan di atas meja kayu di tengah ruangan. Semua yang hadir menahan napas. Kedua perempuan itu mulai terlihat gugup.
“Sebelum saya mengambil tindakan,” ujar Abu Nawas, “apakah ada di antara kalian yang rela menyerahkan bayi ini kepada lawan, demi menyelamatkan nyawanya?”