LANGIT7.ID-Abu-Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami (756–814), yang lebih akrab dikenal sebagai
Abu Nawas, bukan sekadar penyair besar dalam khazanah sastra Arab klasik. Ia juga seorang filsuf jenaka, pujangga nyentrik, dan menurut banyak kisah dari Seribu Satu Malam, seorang sufi dengan cara berpikir tak terduga. Salah satu kisah paling menggelitik tentangnya muncul dari sebuah peristiwa mirip hikayat Nabi Sulaiman: dua perempuan memperebutkan seorang bayi yang sama.
Kala itu, Baginda Harun al-Rasyid tengah pusing tujuh keliling. Sudah berhari-hari dua orang perempuan ribut di pengadilan, masing-masing bersikeras bahwa bayi lucu nan polos itu adalah anak kandungnya. Hakim kerajaan kehabisan cara. Baginda pun turun tangan dengan gaya rayu halusnya — mungkin berharap salah satu perempuan akan mengalah karena merasa bersalah. Tapi kenyataannya, kedua perempuan justru makin keras kepala. Alih-alih menyerah, mereka malah saling melotot.
Karena urusan makin ruwet, Baginda akhirnya memanggil Abu Nawas, seperti biasa bila logika manusia sudah mentok. Abu Nawas datang dengan wajah tenang dan janggut yang tampak lebih keriting dari biasanya. Ia mendengarkan kisah dua perempuan itu, lalu berkata dengan kalem, “Putusan akan saya jatuhkan besok pagi.”
Baca juga: Proyek Raksasa Abu Nawas: Mengangkat Istana ke Gunung Memakai Humor Banyak orang mengira Abu Nawas sedang menyusun strategi jenius. Padahal sebenarnya ia menunda karena algojo kerajaan sedang cuti.
Keesokan harinya, sidang dilanjutkan. Abu Nawas berdiri dengan wajah serius, ditemani algojo yang membawa pedang panjang mengkilat. Ia memerintahkan agar bayi diletakkan di atas meja kayu di tengah ruangan. Semua yang hadir menahan napas. Kedua perempuan itu mulai terlihat gugup.
“Sebelum saya mengambil tindakan,” ujar Abu Nawas, “apakah ada di antara kalian yang rela menyerahkan bayi ini kepada lawan, demi menyelamatkan nyawanya?”
Keduanya tetap kukuh. “Tidak! Bayi itu anak saya!” seru mereka kompak, seperti paduan suara.
“Baiklah,” kata Abu Nawas, “kalau begitu, tidak ada pilihan lain. Bayi ini akan saya belah dua. Masing-masing mendapat setengah.”
Perempuan pertama langsung bersorak, “Ya, bagus begitu saja!”
Perempuan kedua terhuyung panik, menjerit, “Ampun! Jangan dibelah! Serahkan saja bayi itu padanya! Biarlah saya yang kehilangan, asal anak ini selamat!”
Abu Nawas tersenyum lebar. Ia mengangkat bayi itu dengan lembut dan menyerahkannya kepada perempuan kedua. “Ibu sejati tak akan membiarkan anaknya celaka,” ucapnya bijak, seperti biasa.
Baginda Harun al-Rasyid bangkit dari singgasananya, wajahnya bersinar bangga. Ia menawarkan Abu Nawas jabatan penasihat hakim kerajaan. Tapi seperti biasa pula, Abu Nawas menolak. “Hamba lebih senang menjadi rakyat biasa yang bisa tidur siang tanpa diganggu perkara orang rebutan bayi, Tuanku,” katanya, disambut tawa para hadirin.
Baca juga: Abu Nawas dan Monyet Ajaib: Ketika Kecerdikan Mengalahkan Latihan Hikmah Kisah:Kisah ini bukan sekadar lelucon, melainkan pengingat bahwa kecerdikan yang dibalut empati bisa mengungkap kebenaran yang tersembunyi. Dan bahwa terkadang, yang dibutuhkan bukan kekuatan, melainkan kebijaksanaan dalam bentuk yang tak terduga — termasuk lewat humor.
1. Kecerdikan adalah bentuk tertinggi dari keadilan.
Abu Nawas menunjukkan bahwa untuk membedakan antara yang benar dan yang dusta, terkadang dibutuhkan kecerdasan emosional dan logika yang tajam — bukan sekadar aturan kaku. Cara uniknya mengungkap siapa ibu sejati membuktikan bahwa keadilan tak selalu datang dari pedang, melainkan dari akal yang jernih.
2. Kasih sayang seorang ibu tak bisa dipalsukan.
Reaksi spontan perempuan kedua — yang rela kehilangan bayinya demi keselamatannya — membuktikan bahwa cinta sejati lebih kuat daripada keinginan memiliki. Ia mengajarkan bahwa pengorbanan adalah bukti kasih sayang yang paling murni.
3. Jabatan dan kehormatan bukan segalanya.
Meskipun ditawari posisi tinggi sebagai penasihat kerajaan, Abu Nawas menolaknya. Ia lebih memilih hidup sederhana dan merdeka, menunjukkan bahwa kebahagiaan tak selalu terletak pada kekuasaan, melainkan pada kebebasan berpikir dan hidup apa adanya.
Baca juga: Kisah Abu Nawas dan Misteri Telur Ayam 4. Humor bisa menjadi alat penyampai kebenaran.
Kisah ini memperlihatkan bagaimana tawa dan akal sehat bisa berdampingan dalam menyelesaikan masalah serius. Abu Nawas tidak hanya bijak, tapi juga tahu bagaimana menyentil nurani lewat cara yang tak mengintimidasi.
5. Kebenaran selalu menemukan jalannya, bila dipandu oleh niat yang lurus.
Dalam dunia yang penuh tipu daya, kisah ini mengajarkan bahwa niat baik dan cara yang bijaksana akan mengantar kita pada keadilan — meski melalui jalan yang tak biasa.
(mif)