Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Ahad, 12 Oktober 2025
home masjid detail berita

Abu Nawas dan Bayi yang Diperebutkan: Ketika Keadilan Datang Bersama Tawa

miftah yusufpati Jum'at, 01 Agustus 2025 - 04:15 WIB
Abu Nawas dan Bayi yang Diperebutkan: Ketika Keadilan Datang Bersama Tawa
Dalam dunia yang penuh tipu daya, kisah ini mengajarkan bahwa niat baik dan cara yang bijaksana akan mengantar kita pada keadilan. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID-Abu-Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami (756–814), yang lebih akrab dikenal sebagai Abu Nawas, bukan sekadar penyair besar dalam khazanah sastra Arab klasik. Ia juga seorang filsuf jenaka, pujangga nyentrik, dan menurut banyak kisah dari Seribu Satu Malam, seorang sufi dengan cara berpikir tak terduga. Salah satu kisah paling menggelitik tentangnya muncul dari sebuah peristiwa mirip hikayat Nabi Sulaiman: dua perempuan memperebutkan seorang bayi yang sama.

Kala itu, Baginda Harun al-Rasyid tengah pusing tujuh keliling. Sudah berhari-hari dua orang perempuan ribut di pengadilan, masing-masing bersikeras bahwa bayi lucu nan polos itu adalah anak kandungnya. Hakim kerajaan kehabisan cara. Baginda pun turun tangan dengan gaya rayu halusnya — mungkin berharap salah satu perempuan akan mengalah karena merasa bersalah. Tapi kenyataannya, kedua perempuan justru makin keras kepala. Alih-alih menyerah, mereka malah saling melotot.

Karena urusan makin ruwet, Baginda akhirnya memanggil Abu Nawas, seperti biasa bila logika manusia sudah mentok. Abu Nawas datang dengan wajah tenang dan janggut yang tampak lebih keriting dari biasanya. Ia mendengarkan kisah dua perempuan itu, lalu berkata dengan kalem, “Putusan akan saya jatuhkan besok pagi.”

Baca juga: Proyek Raksasa Abu Nawas: Mengangkat Istana ke Gunung Memakai Humor

Banyak orang mengira Abu Nawas sedang menyusun strategi jenius. Padahal sebenarnya ia menunda karena algojo kerajaan sedang cuti.

Keesokan harinya, sidang dilanjutkan. Abu Nawas berdiri dengan wajah serius, ditemani algojo yang membawa pedang panjang mengkilat. Ia memerintahkan agar bayi diletakkan di atas meja kayu di tengah ruangan. Semua yang hadir menahan napas. Kedua perempuan itu mulai terlihat gugup.

“Sebelum saya mengambil tindakan,” ujar Abu Nawas, “apakah ada di antara kalian yang rela menyerahkan bayi ini kepada lawan, demi menyelamatkan nyawanya?”

Keduanya tetap kukuh. “Tidak! Bayi itu anak saya!” seru mereka kompak, seperti paduan suara.

“Baiklah,” kata Abu Nawas, “kalau begitu, tidak ada pilihan lain. Bayi ini akan saya belah dua. Masing-masing mendapat setengah.”

Perempuan pertama langsung bersorak, “Ya, bagus begitu saja!”

Perempuan kedua terhuyung panik, menjerit, “Ampun! Jangan dibelah! Serahkan saja bayi itu padanya! Biarlah saya yang kehilangan, asal anak ini selamat!”

Abu Nawas tersenyum lebar. Ia mengangkat bayi itu dengan lembut dan menyerahkannya kepada perempuan kedua. “Ibu sejati tak akan membiarkan anaknya celaka,” ucapnya bijak, seperti biasa.

Baginda Harun al-Rasyid bangkit dari singgasananya, wajahnya bersinar bangga. Ia menawarkan Abu Nawas jabatan penasihat hakim kerajaan. Tapi seperti biasa pula, Abu Nawas menolak. “Hamba lebih senang menjadi rakyat biasa yang bisa tidur siang tanpa diganggu perkara orang rebutan bayi, Tuanku,” katanya, disambut tawa para hadirin.

Baca juga: Abu Nawas dan Monyet Ajaib: Ketika Kecerdikan Mengalahkan Latihan

Hikmah Kisah:

Kisah ini bukan sekadar lelucon, melainkan pengingat bahwa kecerdikan yang dibalut empati bisa mengungkap kebenaran yang tersembunyi. Dan bahwa terkadang, yang dibutuhkan bukan kekuatan, melainkan kebijaksanaan dalam bentuk yang tak terduga — termasuk lewat humor.

1. Kecerdikan adalah bentuk tertinggi dari keadilan.

Abu Nawas menunjukkan bahwa untuk membedakan antara yang benar dan yang dusta, terkadang dibutuhkan kecerdasan emosional dan logika yang tajam — bukan sekadar aturan kaku. Cara uniknya mengungkap siapa ibu sejati membuktikan bahwa keadilan tak selalu datang dari pedang, melainkan dari akal yang jernih.

2. Kasih sayang seorang ibu tak bisa dipalsukan.

Reaksi spontan perempuan kedua — yang rela kehilangan bayinya demi keselamatannya — membuktikan bahwa cinta sejati lebih kuat daripada keinginan memiliki. Ia mengajarkan bahwa pengorbanan adalah bukti kasih sayang yang paling murni.

3. Jabatan dan kehormatan bukan segalanya.

Meskipun ditawari posisi tinggi sebagai penasihat kerajaan, Abu Nawas menolaknya. Ia lebih memilih hidup sederhana dan merdeka, menunjukkan bahwa kebahagiaan tak selalu terletak pada kekuasaan, melainkan pada kebebasan berpikir dan hidup apa adanya.

Baca juga: Kisah Abu Nawas dan Misteri Telur Ayam

4. Humor bisa menjadi alat penyampai kebenaran.

Kisah ini memperlihatkan bagaimana tawa dan akal sehat bisa berdampingan dalam menyelesaikan masalah serius. Abu Nawas tidak hanya bijak, tapi juga tahu bagaimana menyentil nurani lewat cara yang tak mengintimidasi.

5. Kebenaran selalu menemukan jalannya, bila dipandu oleh niat yang lurus.

Dalam dunia yang penuh tipu daya, kisah ini mengajarkan bahwa niat baik dan cara yang bijaksana akan mengantar kita pada keadilan — meski melalui jalan yang tak biasa.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Ahad 12 Oktober 2025
Imsak
04:07
Shubuh
04:17
Dhuhur
11:43
Ashar
14:45
Maghrib
17:49
Isya
18:58
Lihat Selengkapnya
QS. Ali 'Imran:64 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ تَعَالَوْا اِلٰى كَلِمَةٍ سَوَاۤءٍۢ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ اَلَّا نَعْبُدَ اِلَّا اللّٰهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهٖ شَيْـًٔا وَّلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقُوْلُوا اشْهَدُوْا بِاَنَّا مُسْلِمُوْنَ
Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang Muslim.”
QS. Ali 'Imran:64 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan