home masjid

Rindu Ibadah, Tanpa Berlebihan: Kualitas Lebih Utama

Selasa, 30 September 2025 - 16:15 WIB
Semangat ibadah kaum Muslim sejak awal selalu bergelora. Tapi Rasulullah menekankan moderasi: tubuh punya hak, iman perlu ritme. Ilustrasi: AI
LANGIT7.ID- Di sebuah malam di Madinah, Nabi Muhammad memasuki masjid. Pandangannya tertumbuk pada seutas tali yang terikat di antara dua tiang. “Tali apa ini?” tanyanya. Seorang sahabat menjawab, itu milik Zainab. Ia memakainya untuk menyangga tubuh ketika lelah berdiri dalam shalat malam. Nabi menukas, “Lepaskanlah. Hendaklah salah seorang dari kalian shalat dalam keadaan segar. Kalau lelah, duduklah.” (HR Bukhari-Muslim).

Hadis itu bukan sekadar teguran. Ia mengandung pesan: semangat ibadah adalah mulia, tapi fanatisme berlebihan justru bisa menjerumuskan. Rasulullah, sebagaimana dicatat Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari (Dar al-Ma’rifah, 1379 H), selalu menekankan keseimbangan antara ibadah dan fitrah manusia.

Fenomena ini bukan hanya terjadi pada Zainab. Aisyah pernah menceritakan seorang perempuan yang digadang-gadang karena rajin shalat malam hingga tak tidur semalaman. Nabi menanggapinya singkat: “Cukup. Beribadahlah sesuai kemampuan. Allah tidak bosan sampai kamu sendiri yang bosan.” (HR Muslim).

Pesan ini, menurut Fazlur Rahman dalam Islam (University of Chicago Press, 1979), adalah koreksi Nabi terhadap kecenderungan asketis ekstrem. Islam, baginya, bukan agama yang menolak dunia, melainkan menata dunia dengan ukuran spiritual.

Baca juga: Ketika Ibadah Menjadi Keseimbangan, Bukan Beban

Nazar dan Kewajiban

Kesungguhan beribadah juga tercermin dari kisah seorang lelaki yang mendatangi Nabi. Saudarinya bernazar untuk berhaji, namun meninggal sebelum sempat melaksanakannya. Nabi bersabda: “Bayarkanlah nazarnya kepada Allah, karena Dia lebih berhak untuk dibayar.” (HR Bukhari).
Baca Selanjutnya
Bagikan artikel ini:
Berita Lainnya
berita lainnya