LANGIT7.ID- Di sebuah malam di Madinah, Nabi Muhammad memasuki masjid. Pandangannya tertumbuk pada seutas tali yang terikat di antara dua tiang. “Tali apa ini?” tanyanya. Seorang sahabat menjawab, itu milik Zainab. Ia memakainya untuk menyangga tubuh ketika lelah berdiri dalam shalat malam. Nabi menukas, “Lepaskanlah. Hendaklah salah seorang dari kalian shalat dalam keadaan segar. Kalau lelah, duduklah.” (HR Bukhari-Muslim).
Hadis itu bukan sekadar teguran. Ia mengandung pesan: semangat ibadah adalah mulia, tapi fanatisme berlebihan justru bisa menjerumuskan. Rasulullah, sebagaimana dicatat Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam
Fath al-Bari (Dar al-Ma’rifah, 1379 H), selalu menekankan keseimbangan antara ibadah dan fitrah manusia.
Fenomena ini bukan hanya terjadi pada Zainab. Aisyah pernah menceritakan seorang perempuan yang digadang-gadang karena rajin shalat malam hingga tak tidur semalaman. Nabi menanggapinya singkat: “Cukup. Beribadahlah sesuai kemampuan. Allah tidak bosan sampai kamu sendiri yang bosan.” (HR Muslim).
Pesan ini, menurut Fazlur Rahman dalam
Islam (University of Chicago Press, 1979), adalah koreksi Nabi terhadap kecenderungan asketis ekstrem. Islam, baginya, bukan agama yang menolak dunia, melainkan menata dunia dengan ukuran spiritual.
Baca juga: Ketika Ibadah Menjadi Keseimbangan, Bukan Beban Nazar dan KewajibanKesungguhan beribadah juga tercermin dari kisah seorang lelaki yang mendatangi Nabi. Saudarinya bernazar untuk berhaji, namun meninggal sebelum sempat melaksanakannya. Nabi bersabda: “Bayarkanlah nazarnya kepada Allah, karena Dia lebih berhak untuk dibayar.” (HR Bukhari).
Bagi antropolog Clifford Geertz dalam
Islam Observed (1968), praktik nazar menunjukkan bagaimana Muslim menegosiasikan janji religius dengan kewajiban sosial. Ia bukan sekadar ritual, melainkan ekspresi moral bahwa janji kepada Allah harus ditepati, bahkan setelah kematian.
Nabi menolak sikap berlebihan, baik pada perempuan maupun laki-laki. Kasus Abdullah bin Amr bin Ash yang ingin puasa sepanjang tahun, atau Abu Darda yang hampir mengabaikan keluarganya demi ibadah, semuanya ditegur. “Sesungguhnya tubuhmu punya hak atasmu,” sabda Nabi.
Syaikh Yusuf al-Qaradawi dalam
al-Ibadah fi al-Islam (Maktabah Wahbah, 1995) menegaskan, ajaran Nabi tentang ibadah senantiasa berporos pada wasathiyah—moderasi. Bukan menumpuk ritual hingga tubuh tak kuasa, melainkan membangun irama hidup yang sehat antara dunia dan akhirat.
Baca juga: Perempuan di Saf Ibadah: Keikutsertaan dalam Ritual Jamaah Sejak Zaman Nabi Relevansi KiniDi era modern, semangat religius sering berwujud dalam gerakan hijrah, maraton ibadah Ramadan, hingga tradisi one day one juz. Namun kisah Zainab dan perempuan penggiat shalat malam tadi mengingatkan: ibadah sejati bukan soal kuantitas, tapi kualitas yang selaras dengan kemampuan.
Sayyid Quthb dalam
Fi Zhilal al-Qur’an (Dar al-Shuruq, 1980) menafsirkan ibadah sebagai keterhubungan konstan dengan Allah, bukan sekadar repetisi fisik. Dengan begitu, ibadah tidak menjauhkan manusia dari kehidupan, tapi justru menyeimbangkannya.
Rasulullah mengajarkan, senang beribadah adalah anugerah, tapi melampaui batas adalah jebakan. Jalan tengah—antara rindu dan batas—itulah jalan Islam.
(mif)