Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Ahad, 12 Oktober 2025
home masjid detail berita

Mengiringi Orang Tua, Setelah Hidup Usai

miftah yusufpati Kamis, 02 Oktober 2025 - 05:45 WIB
Mengiringi Orang Tua, Setelah Hidup Usai
Bakti kepada orang tua tak berhenti di liang lahat. Doa, sedekah, hingga ibadah pengganti menjadi cara anak melunasi hutang orang tuanyacinta yang tetap hidup meski jasad telah tiada. Ilustrasi: AI
LANGIT7.ID-Di ruang kecil di Madinah, lebih 14 abad lalu, seorang perempuan mendekat kepada Rasulullah ﷺ. Ia gelisah: ibunya baru saja meninggal, meninggalkan hutang puasa dan haji. “Apakah aku boleh menggantikannya?” tanyanya. Nabi menjawab singkat tapi tegas: “Ya, lakukanlah. Bukankah jika ibumu punya hutang dunia, engkau yang melunasinya? Maka bayarlah hutang kepada Allah, sebab hutang kepada-Nya lebih utama.” (HR Bukhari dan Muslim).

Riwayat-riwayat serupa berulang. Ada yang menanyakan soal puasa, ada yang soal haji, bahkan soal sedekah. Jawaban Nabi konsisten: anak bisa menjadi pelanjut bakti, bahkan setelah ayah atau ibunya tiada.

Kisah-kisah hadis ini memberi warna lain dalam pandangan Islam tentang birrul walidain—berbakti kepada orang tua. Umumnya, umat Muslim memahami kewajiban itu dalam konteks kehidupan sehari-hari: menghormati, menaati, merawat di masa tua. Tetapi, Nabi memperluasnya: bakti tak berhenti saat liang lahat ditutup.

Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menegaskan, pahala amal anak yang diniatkan untuk orang tuanya tetap mengalir, khususnya amal yang ditunjuk langsung dalam hadis: doa, sedekah, puasa, dan haji. Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam Ar-Ruh menulis lebih jauh: “Hubungan anak dan orang tua adalah ikatan yang tidak putus, bahkan setelah kematian. Doa anak adalah cahaya yang menyusul mereka di alam kubur.”

Baca juga: Kesempurnaan yang Tak Terlihat: Kisah Perempuan Ahli Surga

Tafsir keadilan

Analoginya sederhana, tapi kuat: hutang. Nabi berkali-kali menyamakan hutang ibadah orang tua dengan hutang duniawi. Keduanya bisa ditebus oleh anak. Di sini terlihat prinsip keadilan yang khas: agama menuntut manusia menunaikan hak sesama, sekaligus hak Tuhan.

Sejarawan Mesir, Muhammad Husain Haekal, dalam Sejarah Hidup Muhammad (Pustaka Jaya, 1980) mencatat, praktik badal haji—haji pengganti—sudah dikenal sejak masa Nabi. Ulama fikih kemudian mengkodifikasinya: mazhab Syafi’i, misalnya, membolehkan anak menunaikan haji atau puasa nazar orang tuanya, selama syarat-syarat ibadah itu terpenuhi.

Abdul Halim Abu Syuqqah dalam Kebebasan Wanita di Era Risalah (1998) mencatat, justru perempuan-perempuan sahabatlah yang paling sering menanyakan hal ini. Artinya, mereka aktif memperjuangkan hak ibunya agar tetap terpenuhi, meski sudah wafat. “Ada kesadaran bahwa bakti itu bukan sekadar emosional, tapi juga teologis,” tulis Abu Syuqqah.

Baca juga: Menyebut Rupa Perempuan: Antara Hadis dan Tabu Sosial

Perspektif kontemporer

Di luar teks klasik, sosiolog agama hari ini membaca birrul walidain sebagai modal sosial. Penelitian Journal of Muslim Mental Health (2019) menyebut, anak-anak yang menunaikan doa atau amal untuk orang tuanya menunjukkan tingkat kesehatan mental lebih baik—ada rasa keterhubungan lintas generasi.

Sementara Kecia Ali dalam Sexual Ethics and Islam (2006) menekankan, etika Islam selalu menempatkan relasi manusia sebagai jaringan kewajiban timbal balik. Anak tidak sekadar penerus garis keturunan, tapi juga penanggung jawab spiritual atas orang tuanya.

Bagi masyarakat modern yang individualistis, warisan konsep ini bisa menjadi penyeimbang: ada kewajiban moral menjaga kesinambungan, bukan hanya dalam hidup, tapi juga setelahnya.

Singkat kata, mungkin begini: berbuat baik kepada orang tua, kata teks-teks Islam, bukan hanya soal menemaninya di kursi goyang masa senja. Itu juga tentang melanjutkan doa, amal, dan bahkan ibadah yang belum mereka tuntaskan.

Di hadapan sejarah, konsep ini terasa sederhana, tapi menggetarkan. Sebab ia menegaskan satu hal: cinta anak kepada orang tua tak dikubur oleh tanah, melainkan hidup sebagai hutang yang terus dibayar dengan amal.

Baca juga: Menyebut Nama Perempuan: Jejak Lupa dalam Tradisi Muslim

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Ahad 12 Oktober 2025
Imsak
04:07
Shubuh
04:17
Dhuhur
11:43
Ashar
14:45
Maghrib
17:49
Isya
18:58
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Isra':1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.
QS. Al-Isra':1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan