LANGIT7.ID – Madinah, abad ke-7 M. Malam itu, Rasulullah saw. berjalan dengan salah seorang istrinya, Shafiyyah binti Huyay. Dua lelaki Anshar lewat dan menyapanya. Rasul segera berkata: “Pelan-pelan sajalah kalian. Dia ini hanyalah Shafiyyah binti Huyay.” (HR Bukhari dan Muslim).
Kisah kecil itu seolah sederhana. Tapi dari sana, kita melihat praktik yang hari ini jarang dibicarakan: Nabi saw. tak segan menyebut nama perempuan.
Dalam banyak riwayat, nama perempuan muncul jelas. Halah binti Khuwailid, saudari Khadijah, disebut karena salamnya mengingatkan Nabi pada istri pertamanya. Anas bin Malik menuturkan bahwa neneknya, Malikah, pernah menjamu Rasulullah. Aisyah bercerita bahwa kambing kiriman kembali ke rumahnya berkat Nasibah.
Ada pula Zainab, istri Abdullah bin Mas‘ud; Asma binti Umais; hingga Subaiah dari Bani Aslam. Bahkan kisah heroik Rubayyi binti Nadhar yang mengenali jasad saudaranya di Uhud. Semua nama perempuan itu tercatat gamblang dalam Shahih Bukhari dan Muslim.
Bagi pembaca modern, ini terasa kontras. Di banyak komunitas Muslim kini, menyebut nama perempuan kerap dianggap tabu.
Baca juga: Kolom Fiqih Sosial:Industrialisasi Outfit Olahraga Perempuan dalam Islam Lebih jauh lagi, Nabi dan para sahabat tak jarang menisbahkan seseorang kepada ibunya. Abdullah bin Malik dikenal dengan nama ibunya, Buhainah. Muhammad bin Hubaib al-Lughawi dinisbahkan kepada ibunya, Hubaib. Bahkan seorang sastrawan ternama, Muhammad bin Syaraf al-Qairawani, juga diingat dari nama ibunya.
Imam an-Nawawi mencatat dalam syarah *Shahih Muslim*: Ismail bin Aliyyah lebih dikenal dengan nisbah ibunya, Aliyyah. Bukan aib, justru kehormatan.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan: kapan dan mengapa sebagian masyarakat Muslim mulai menghapus penyebutan nama perempuan? Sejarawan Leila Ahmed dalam
Women and Gender in Islam (1992) menyebut, praktik menutupi identitas perempuan lebih banyak dipengaruhi konstruksi sosial pasca-kolonial dan norma patriarkis Timur Tengah, ketimbang ajaran Islam awal.
Fatima Mernissi dalam
The Veil and the Male Elite (1987) bahkan berargumen, sejarah Islam awal lebih egaliter. Nama perempuan hadir di ruang publik, peran mereka dalam medan perang, ilmu pengetahuan, hingga politik tak ditutup-tutupi.
Lupa yang MembekuDalam tafsir klasik, para ulama tidak mempersoalkan penyebutan nama perempuan. An-Nawawi, Ibnu Daqiq al-‘Id, hingga para muhadditsin besar menyebut nama perempuan tanpa rasa canggung. Justru pelabelan “tabu” menyebut nama perempuan muncul belakangan, sering bercampur dengan budaya lokal atau rasa malu yang berlebihan.
Baca juga: Ridha Perempuan, Syarat Sah Pernikahan Menurut Hadis Nabi Di Indonesia, tradisi menyebut nama perempuan masih ambigu. Dalam karya klasik, nama perempuan ulama dicatat jelas—seperti Nyai Ageng Pinatih atau Rahmah El Yunusiyyah. Tapi dalam praktik sehari-hari, sebagian komunitas memilih “istri si Fulan” alih-alih nama aslinya.
Azyumardi Azra dalam
Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara (1994) menulis, banyak ulama perempuan Nusantara yang perannya terlupakan karena namanya jarang dicatat.
Membuka Kembali RuangMenyebut nama perempuan, sebagaimana Nabi saw. mencontohkan, adalah pengakuan eksistensi. Ia bukan sekadar identitas, melainkan penghormatan atas peran.
Sebagaimana ditulis Leila Ahmed: “Menghapus nama perempuan dari ruang publik sama dengan menghapus sejarah mereka.”
Kini, saat wacana kesetaraan kembali mengemuka, barangkali penting mengingat kembali apa yang sudah ditunjukkan Nabi: menyebut nama perempuan bukan aib, melainkan teladan.
Baca juga: Di Balik Medan Perang: Jejak Perempuan dalam Angkatan Bersenjata(mif)