LANGIT7.ID-Seorang perempuan berkulit hitam, tanpa nama yang tercatat dalam sejarah, mendatangi Nabi Muhammad saw. dengan kegelisahan yang tak biasa. Ia mengidap penyakit ayan. Setiap kali kambuh, tubuhnya kejang, kesadarannya hilang, dan auratnya dikhawatirkan terbuka tanpa sengaja.
“Wahai Rasulullah,” ucapnya, sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas, “tolonglah doakan agar aku sembuh.” (HR Bukhari-Muslim, no. 5652/2576).
Jawaban Nabi mengejutkan. Ia menawarkan dua jalan: kesabaran yang berbuah surga, atau doa kesembuhan. Perempuan itu memilih sabar, memilih surga. Tapi ia menambahkan satu permohonan sederhana: agar Allah menjaga auratnya saat penyakit itu kambuh. Nabi pun mendoakan.
Kisah ini tampak ringkas, tapi meninggalkan kesan dalam. Seorang perempuan miskin, tak dikenal namanya, tak meminta harta, tak mengejar kedudukan, tak mendamba popularitas. Yang ia khawatirkan hanyalah martabatnya sebagai seorang muslimah: jangan sampai auratnya terbuka.
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam
Fath al-Bari (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379 H) menekankan: di balik tubuh yang sakit, perempuan itu menunjukkan keagungan jiwa. Ia tidak hanya menerima cobaan dengan sabar, tapi juga berfokus pada penjagaan kehormatan diri.
Kontras dengan KekinianBanyak pihak sering menafsirkan riwayat klasik dalam bingkai sosial modern. Maka kisah perempuan ahli surga ini terasa seperti kritik diam-diam bagi zaman kita.
Di tengah maraknya pencitraan tubuh, obsesi kesempurnaan fisik, dan dorongan gaya hidup serba tampil, seorang perempuan anonim 14 abad lalu justru mengajarkan keutamaan berbeda. Kesempurnaan baginya bukan kulit mulus, bukan tubuh sehat tanpa cela, melainkan kesanggupan menjaga harga diri di hadapan Allah.
Di ruang-ruang publik sekarang, perempuan justru kerap dipaksa menanggung beban ganda: dituntut tampil sempurna sekaligus tetap dianggap “terhormat”. Maka keteguhan perempuan ini terasa menampar: kehormatan bukan soal standar sosial, melainkan ketulusan menjaga diri sesuai keyakinan.
Jejak yang AbadiKita tidak tahu nama perempuan itu. Tapi sejarah Islam menaruhnya dalam deretan
ahlul jannah—calon penghuni surga. Sebuah catatan kehormatan yang tidak diberikan kepada banyak sahabat laki-laki sekalipun.
Dalam tradisi Islam, ketenaran bukanlah ukuran, apalagi warna kulit atau status sosial. Justru seorang perempuan hitam, sakit, dan tak bernama, menjadi simbol iman yang teguh.
Sebagaimana diceritakan Ibnu Abbas, Rasulullah saw. sendiri menegaskan: kesabaran luar biasa itulah tiket menuju surga.
Mungkin di sinilah letak ironi zaman: manusia modern mendamba kesempurnaan tubuh, tapi melupakan kesempurnaan iman. Perempuan tak bernama itu justru membalikkan logika itu. Ia mengajarkan, kesempurnaan sejati ada pada keberanian bersabar, menjaga martabat, dan meletakkan ridha Allah di atas segalanya.
Kisah ini bersumber dari hadis Riwayat Bukhari-Muslim, no. 5652/2576; Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari.(mif)