LANGIT7.ID-Di hadapan Nabi Muhammad Saw., seorang perempuan berkulit hitam itu tak meminta kekayaan atau kedudukan. Ia datang dengan kegelisahan lain: penyakit ayan (epilepsi) yang membuatnya khawatir auratnya terbuka tanpa sadar. “Doakanlah aku,” pintanya.
Nabi menawarkan dua pilihan: kesabaran yang berbuah surga, atau doa agar sembuh. Perempuan itu memilih sabar, namun dengan satu syarat—auratnya tetap terjaga. Nabi pun mengangkat tangannya, berdoa agar dalam setiap serangan penyakitnya, kehormatan tubuhnya tetap terlindungi. (HR Bukhari dan Muslim).
Kisah ini, menurut Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari (Dar al-Ma’rifah, 1379 H), menunjukkan betapa mulianya nilai kesabaran dan penjagaan martabat. Bukan sekadar soal sakit dan doa, tapi tentang bagaimana manusia menimbang nilai hidupnya: kesembuhan atau keutamaan spiritual.
Riwayat itu menyingkap paradoks: seorang perempuan yang secara fisik rapuh justru digelari ahli surga. Abdullah bin Abbas menyebutnya sebagai teladan. “Maukah kutunjukkan calon penghuni surga?” katanya kepada Atha’ bin Rabah, seraya menunjuk perempuan itu.
Kisah ini beresonansi dengan gagasan Khaled Abou El Fadl dalam The Search for Beauty in Islam (Rowman & Littlefield, 2001). Menurutnya, Islam kerap memuliakan manusia bukan pada kesempurnaan fisik, melainkan pada kesetiaan moral dan spiritual. Keterbatasan tubuh bukan penghalang menuju kemuliaan, melainkan jendela menuju kesempurnaan lain.
Baca juga: Ketika Ibadah Menjadi Keseimbangan, Bukan Beban Psikolog Muslim kontemporer, Malik Badri dalam
The Dilemma of Muslim Psychologists (International Institute of Islamic Thought, 1979), menulis bahwa sabar dapat menjadi strategi spiritual menghadapi trauma dan penyakit kronis. Sabar bukan sekadar pasrah, tapi kemampuan mengubah penderitaan menjadi sumber makna.
Dalam tradisi Islam, sabar bukan sikap pasif. Ia adalah revolusi sunyi melawan penderitaan. Wanita itu menolak jadi korban penyakit. Ia memilih menukar keluh kesah dengan surga, sekaligus menjaga harga dirinya dari pandangan manusia.
Relevansi Hari IniDi era modern, ketika kesehatan fisik sering dipuja sebagai standar hidup ideal, kisah perempuan pengidap epilepsi ini terasa menohok. Ia mengingatkan: kesempurnaan bukan berarti tanpa cela, tapi keberanian menerima luka dengan iman.
Sayyid Quthb dalam
Fi Zhilal al-Qur’an (Dar al-Shuruq, 1980) menafsirkan sabar sebagai bentuk tertinggi penghambaan, karena ia memutuskan hubungan ketergantungan manusia pada selain Allah. Sabar, baginya, adalah kesaksian iman yang tak tergoyahkan.
Kisah ini menempatkan sabar bukan pada ranah abstrak, melainkan konkret: seorang perempuan yang sakit, takut auratnya terbuka, tapi tetap mendambakan kesempurnaan—bukan di dunia, melainkan di surga.
Baca juga: Perempuan di Saf Ibadah: Keikutsertaan dalam Ritual Jamaah Sejak Zaman Nabi(mif)