Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Jum'at, 21 November 2025
home masjid detail berita

Cinta, Cemburu, dan Tawa di Rumah Rasululah SAW

miftah yusufpati Kamis, 25 September 2025 - 16:00 WIB
Cinta, Cemburu, dan Tawa di Rumah Rasululah SAW
Hidup bersama sembilan perempuan, Nabi Muhammad menghadapi tuntutan, kecemburuan, hingga persaingan. Namun ia menjawabnya dengan humor, sabar, dan kasih yang lembut. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID-Rumah Nabi Muhammad di Madinah abad ke-7 tak pernah benar-benar hening. Dari dinding tanah liat dan tirai sederhana, kehidupan rumah tangga Nabi menyimpan hiruk pikuk khas keluarga besar: kecemburuan, candaan, pertengkaran, hingga rekonsiliasi. Semua terekam dalam hadis-hadis sahih, yang memperlihatkan sisi manusiawi seorang utusan Tuhan.

Sejarawan Karen Armstrong dalam Muhammad: A Prophet for Our Time (2006) menyebut, kehidupan rumah tangga Nabi menjadi ruang penting untuk memahami sisi personal beliau: seorang suami yang menghadapi perempuan-perempuan lantang, sekaligus belajar menengahi konflik dengan kelembutan.

Riwayat Jabir bin Abdullah (HR Muslim) menggambarkan satu momen tegang. Nabi duduk murung dikepung istri-istrinya yang menuntut belanja lebih. Abu Bakar dan Umar datang. Melihat suasana dingin, Umar melontarkan kelakar: “Seandainya putri Kharijah menuntut belanja kepadaku, niscaya aku akan mencekik lehernya.” Nabi tertawa, suasana mencair. Namun, Abu Bakar dan Umar tetap menegur putri mereka masing-masing, Aisyah dan Hafshah: “Apakah kalian menuntut sesuatu yang tidak beliau miliki?”

Baca juga: Menyebut Rupa Perempuan: Antara Hadis dan Tabu Sosial

Bagi Asma Barlas dalam Believing Women in Islam (2002), kisah ini menunjukkan dua hal: Nabi menghadapi tekanan domestik sebagaimana laki-laki lain, sementara para istri Nabi berani bersuara soal kebutuhan rumah tangga—suatu hal yang lazim di masyarakat patriarkal Quraisy.

Kisah lain dari Sa’ad bin Abi Waqqash (HR Bukhari-Muslim): Umar masuk ke rumah Nabi, mendapati perempuan-perempuan Quraisy berbicara keras. Begitu Umar datang, mereka berlarian ke balik tabir. Nabi tertawa: “Aku heran dengan ulah mereka. Mendengar suaramu, mereka bergegas.” Para perempuan menjawab lugas: “Ya, karena engkau lebih keras dibanding Rasulullah.”

Jawaban itu, menurut sejarawan Nabia Abbott dalam Two Queens of Baghdad (1946), menggambarkan keberanian perempuan Arab kala itu dalam menilai karakter laki-laki secara terbuka—bahkan di depan Nabi.

Cemburu di Padang Pasir

Kecemburuan hadir dalam bentuk paling getir. Aisyah meriwayatkan, dalam satu perjalanan ia dan Hafshah ikut serta setelah undian. Malam hari, Hafshah menukar unta dengan Aisyah. Nabi menghampiri unta yang ia kira ditunggangi Aisyah, padahal Hafshah. Menyadari dirinya ditinggalkan, Aisyah berdoa: “Ya Tuhan, semoga ada kala atau ular menggigitku.” (HR Bukhari-Muslim).

Baca juga: Menyebut Nama Perempuan: Jejak Lupa dalam Tradisi Muslim

Psikolog keluarga John L. Esposito dalam Women in Muslim Family Law (1982) menilai, hadis ini menyingkap perasaan cemburu yang wajar, sekaligus menegaskan bahwa istri-istri Nabi bukan sosok pasif, melainkan penuh emosi yang nyata.

Riwayat Anas bin Malik (HR Bukhari) menceritakan sebuah piring makanan pecah karena dilampiaskan cemburu oleh salah satu istri Nabi. Alih-alih marah, Nabi mengumpulkan pecahan sambil berkata: “Ibumu cemburu.” Beliau lalu mengganti piring itu dengan yang utuh.

Gestur sederhana ini, menurut Jonathan Brown dalam Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (2009), memperlihatkan gaya kepemimpinan Nabi: menenangkan konflik dengan humor dan kompromi, bukan otoritas.

Persaingan Dua Kubu

Riwayat Aisyah (HR Bukhari-Muslim) mengisahkan, istri-istri Nabi terbagi dalam dua kelompok. Aisyah, Hafshah, dan Saudah di satu sisi; Ummu Salamah dan lainnya di sisi lain. Ketika sahabat sering mengirim hadiah ke rumah Aisyah karena tahu Nabi mencintainya, kelompok Ummu Salamah merasa iri. Mereka meminta Nabi menegur sahabat. Nabi menolak: “Jangan sakiti aku tentang Aisyah. Wahyu tidak turun kepadaku kecuali saat aku berada dalam kainnya.”

Menurut Fatima Mernissi dalam The Veil and the Male Elite (1987), pernyataan ini menegaskan kedudukan Aisyah yang istimewa, sekaligus menggambarkan bagaimana cinta dan wahyu berjalin dalam ruang domestik.

Baca juga: Kolom Fiqih Sosial:Industrialisasi Outfit Olahraga Perempuan dalam Islam

Riwayat paling puitis datang dari hadis panjang tentang sebelas perempuan yang saling berkisah soal suami mereka (HR Bukhari-Muslim). Ada yang mengeluh suami pemarah, rakus, atau dingin. Ada pula yang memuja Abu Zara, suami penuh cinta yang akhirnya menceraikannya.

Kepada Aisyah, Nabi berkata: “Aku terhadapmu seperti Abu Zara terhadap Ummu Zara.” Sebuah sanjungan mesra, penutup yang manis dari riuh rumah tangga.

Hadis-hadis ini, jika dibaca tanpa kacamata kaku, memperlihatkan rumah Nabi sebagai laboratorium kemanusiaan. Ada cemburu, ada protes, ada pecah piring, bahkan ada gosip antarkubu. Tetapi juga ada humor, kelembutan, dan cinta yang tak lekang.

Rumah Nabi bukan rumah steril dari konflik. Ia justru tempat di mana riuh rendah perempuan didengar, direspons, dan disayangi. Sebuah teladan, bukan karena bebas dari masalah, melainkan karena berani mengakui bahwa pernikahan adalah arena negosiasi abadi antara cinta dan manusiawi.

Baca juga: Ridha Perempuan, Syarat Sah Pernikahan Menurut Hadis Nabi

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Jum'at 21 November 2025
Imsak
03:55
Shubuh
04:05
Dhuhur
11:42
Ashar
15:05
Maghrib
17:54
Isya
19:08
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Isra':1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.
QS. Al-Isra':1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan