home masjid

Dari Curiga ke Penasaran: Evolusi Pandangan Belanda terhadap Pesantren

Senin, 20 Oktober 2025 - 04:15 WIB
Di pesantren-pesantren kecil di Jawa dan Sumatra, teks-teks yang sama terus dibaca, diajarkan, dan dihidupkan kembali. Ilustrasi: AI
LANGIT7.ID-Bagi pemerintah kolonial Belanda, pesantren adalah misteri. Di awal abad ke-19, lembaga ini dianggap sarang kebodohan dan perlawanan. Tapi seiring waktu, pandangan itu berubah: dari curiga menjadi penasaran, dari menindas menjadi ingin memahami—meski tetap dari balik kacamata kuasa.

Dalam Sejarah Islam di Nusantara(Freedom Institute, 2015), Michael Laffan menunjukkan bagaimana perubahan ini berlangsung perlahan. Setelah rentetan perang—dari Padri di Sumatra hingga Diponegoro di Jawa—kolonial mulai menyadari bahwa Islam bukan sekadar doktrin, melainkan jaringan sosial yang mengakar. Para santri, ulama, dan haji menjadi simpul pengetahuan yang tak bisa dijangkau lewat kekuatan militer.

Namun upaya memahami Islam Nusantara bukan tanpa motif. Pemerintah kolonial mendirikan sekolah pelatihan bagi calon pejabat—termasuk kursus bahasa Arab dan Melayu—agar bisa membaca naskah-naskah rampasan dari istana Yogyakarta, Bone, atau Palembang. Mereka mengumpulkan ribuan manuskrip tentang fikih, tafsir, hingga tasawuf. Tapi sebagaimana ditulis Laffan, pengetahuan itu tidak lahir dari rasa ingin tahu yang tulus, melainkan dari keinginan mengendalikan.

Baca juga: Sejarah Islam Nusantara: Mencari Gereja Penyeimbang

Ketika Raffles dan Van Sevenhoven memeriksa naskah-naskah Arab-Melayu hasil rampasan perang, mereka kaget melihat luasnya literasi Islam lokal. Alih-alih menemukan teks sederhana atau mistik primitif, mereka menemukan kitab-kitab tebal, komentar panjang atas karya ulama Timur Tengah. Tapi reaksi mereka bukan kekaguman, melainkan kebingungan epistemologis. “Mereka kewalahan,” tulis Laffan, “setelah begitu banyak penaklukan, tumpukan manuskrip itu justru menunjukkan dunia yang tak mereka pahami.”

Dalam kebingungan itulah lahir “rezim pengetahuan baru”. Para pejabat kolonial mulai mempekerjakan penerjemah lokal, membuka perpustakaan, bahkan membentuk lembaga orientalis di Leiden. Mereka menulis laporan tentang pesantren, membedakan antara tarekat “keras” dan “halus”, antara Islam pedesaan dan Islam kota. Tapi semua itu tetap berlangsung di bawah logika kolonial: Islam harus dipahami agar bisa dikendalikan.

Laffan mencatat bahwa pada pertengahan abad ke-19, muncul generasi baru ulama yang menyadari permainan itu. Mereka bukan lagi hanya pengajar kitab, tapi juga penulis dan penerjemah. Dari pesantren ke percetakan, mereka mengembangkan tradisi intelektual Islam yang tidak tunduk pada narasi kolonial. Gerakan ini menjadi fondasi bagi kebangkitan Islam modern di Nusantara pada abad ke-20.
Baca Selanjutnya
Bagikan artikel ini:
Berita Lainnya
berita lainnya