home masjid

Menafsir Ulang Syariat: Ketika Hukum Tak Lagi Sakral

Senin, 20 Oktober 2025 - 05:15 WIB
Syariat bukan bekuan mazhab, tapi jalan yang terus hidup. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID-Suatu sore di Doha, seorang ulama asal Mesir duduk di ruang kerjanya yang sederhana. Di meja kayu tua itu, Syaikh Yusuf al-Qardhawi menulis sebuah kalimat yang kelak menjadi pijakan perdebatan panjang di dunia Islam modern: “Syariat dalam arti luas bukanlah mazhab tertentu.”

Kalimat itu terdapat dalam bukunya, Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an & Sunnah(Citra Islami Press, 1997). Sebuah karya reflektif yang mengajak umat Islam keluar dari kungkungan sempit fanatisme mazhab menuju semangat ijtihad yang hidup, dinamis, dan kontekstual.

Qardhawi menulis, hukum Islam yang dicita-citakan bukan fiqih salah satu mazhab pada masa tertentu, melainkan kaidah-kaidah pokok yang ditetapkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah—dua sumber utama yang menaungi berbagai ragam ijtihad sejak masa sahabat hingga ulama kontemporer.

Dalam pandangannya, kekayaan khazanah fiqih yang berkembang dari masa ke masa adalah warisan besar yang harus dijadikan fondasi, bukan beban. “Tidak bisa diterima bahwa ijtihad modern dimulai dari nol,” tulisnya. Yang baru, katanya, harus disandarkan pada yang lama; yang lama pun perlu ditinjau ulang agar tak kehilangan relevansi dengan perubahan zaman.

Bagi Qardhawi, inti dari fiqih bukanlah kumpulan hukum beku, melainkan cara berpikir yang terus menyesuaikan diri dengan ruang dan waktu. Ia mengutip kaidah klasik dari para ulama besar: “Fatwa bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, keadaan, dan kebiasaan.”

Kaidah ini ditegaskan oleh tokoh-tokoh fiqih lintas mazhab, seperti Al-Qarafi dalam Al-Ihkam, Ibnul Qayyim dalam I’lam al-Muwaqqi’in, dan Ibnu ‘Abidin dalam Nasyr al-‘Urf. Semuanya menegaskan bahwa syariat Islam bersifat elastis, tidak kaku, dan mampu menjawab tantangan sosial di setiap masa.

Qardhawi mengingatkan, membatasi diri hanya pada satu mazhab dalam semua permasalahan justru berisiko mengerdilkan Islam itu sendiri. Sebab, setiap mazhab lahir dari konteks sosial yang berbeda. Yang sesuai di Baghdad abad ke-9 belum tentu relevan di Jakarta abad ke-21.
Baca Selanjutnya
Bagikan artikel ini:
Berita Lainnya
berita lainnya