Ketika Rezeki Menjadi Dosa: Etika Islam di Tengah Godaan Uang Kotor
Miftah yusufpati
Senin, 27 Oktober 2025 - 16:30 WIB
Islam menolak kemakmuran yang lahir dari kezaliman. Ilustrasi: AI
LANGIT7.ID-Dalam pandangan Islam, kerja bukan sekadar aktivitas ekonomi. Ia adalah ekspresi iman dan akhlak. Karena itu, menurut ulama besar Syaikh Yusuf Qardhawi dalam Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an & Sunnah(1997), Islam bukan hanya memerintahkan umatnya untuk bekerja, tetapi juga menyucikan sumber pendapatannya. Sebab, sebagaimana ditegaskan Qardhawi, “Islam tidak menghargai bagusnya niat dan mulianya tujuan, apabila cara kerjanya diharamkan.”
Hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad menegaskan hal itu dengan keras: “Setiap tubuh yang berkembang dari yang haram, maka neraka lebih utama baginya.”
Bagi Qardhawi, ini bukan sekadar ancaman metafisis, tapi peringatan moral: bahwa ekonomi tanpa etika hanya melahirkan peradaban yang busuk dari dalam.
Istilah “kerja kotor” dalam literatur Islam mencakup segala aktivitas ekonomi yang mengandung kezaliman—dari penipuan, pencurian, pengurangan timbangan, hingga riba. Bahkan praktik yang tampak modern seperti insider trading, gratifikasi, atau “hadiah jabatan”, dalam kacamata Islam tetap masuk kategori yang sama: harta yang diperoleh tanpa hak.
“Allah itu Thayyib (baik) dan tidak menerima kecuali yang baik,” sabda Rasulullah SAW dalam hadis riwayat Muslim.
Ayat Al-Baqarah 188 menguatkan prinsip tersebut: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”
Dalam tafsirnya, Sayyid Quthb (Fi Zhilal al-Qur’an) menyebut ayat ini sebagai “fondasi etika publik” — larangan menyamarkan korupsi dengan legalitas hukum. Bahkan jika seorang hakim memutuskan sesuatu tampak sah, Islam tetap menuntut kejujuran nurani di atas formalitas hukum.
Hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad menegaskan hal itu dengan keras: “Setiap tubuh yang berkembang dari yang haram, maka neraka lebih utama baginya.”
Bagi Qardhawi, ini bukan sekadar ancaman metafisis, tapi peringatan moral: bahwa ekonomi tanpa etika hanya melahirkan peradaban yang busuk dari dalam.
Istilah “kerja kotor” dalam literatur Islam mencakup segala aktivitas ekonomi yang mengandung kezaliman—dari penipuan, pencurian, pengurangan timbangan, hingga riba. Bahkan praktik yang tampak modern seperti insider trading, gratifikasi, atau “hadiah jabatan”, dalam kacamata Islam tetap masuk kategori yang sama: harta yang diperoleh tanpa hak.
“Allah itu Thayyib (baik) dan tidak menerima kecuali yang baik,” sabda Rasulullah SAW dalam hadis riwayat Muslim.
Ayat Al-Baqarah 188 menguatkan prinsip tersebut: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”
Dalam tafsirnya, Sayyid Quthb (Fi Zhilal al-Qur’an) menyebut ayat ini sebagai “fondasi etika publik” — larangan menyamarkan korupsi dengan legalitas hukum. Bahkan jika seorang hakim memutuskan sesuatu tampak sah, Islam tetap menuntut kejujuran nurani di atas formalitas hukum.