Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah: Ketika Alam Dicipta dari Ketiadaan
Miftah yusufpati
Selasa, 28 Oktober 2025 - 05:15 WIB
Ilmuwan modern menyebut masa itu sebagai cosmic soup, campuran partikel dan radiasi yang masih cair. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID-Pada sebuah babak dalam sejarah pemikiran Islam modern, Achmad Baiquni—fisikawan lulusan Universitas Gadjah Mada dan tokoh perintis integrasi ilmu dan iman—berusaha menjembatani sains modern dengan ayat-ayat kosmologis Al-Qur’an. Dalam tulisannya “Konsep-Konsep Kosmologis” (dalam buku Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, disunting Budhy Munawar-Rachman, Yayasan Paramadina, 1994), Baiquni tak hanya memaparkan teori fisika mutakhir, tapi juga mengajak pembaca untuk “membaca alam” sebagaimana membaca wahyu.
Baiquni memulai dengan cerita tentang kelahiran jagat raya. Alam semesta, tulisnya, berawal dari “ketiadaan”—sebuah guncangan vakum yang menimbulkan energi luar biasa besar. Dalam terminologi kosmologi modern, peristiwa ini dikenal sebagai Big Bang, ledakan awal yang memulai ruang, waktu, dan materi. Ia menjelaskan dengan rinci fase-fase awal penciptaan: dari suhu 1.000 triliun-triliun derajat dalam waktu 10⁻³⁵ detik, hingga fenomena “inflasi” yang membuat semesta mengembang dengan kecepatan tak terbayangkan.
Ilmuwan modern menyebut masa itu sebagai cosmic soup, campuran partikel dan radiasi yang masih cair. Dari zat alir panas inilah terbentuk atom pertama, lalu galaksi, bintang, dan planet.
Namun Baiquni tak berhenti di situ. Ia memadukan penemuan ilmiah itu dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang menyiratkan dinamika penciptaan alam:
“Dan tidakkah orang-orang kafir mengetahui bahwa ruang waktu dan energi-materi itu dahulu sesuatu yang padu, kemudian Kami pisahkan keduanya.” (QS. Al-Anbiya’: 30)
“Dan ruang waktu itu Kami bangun dengan kekuatan, dan sesungguhnya Kamilah yang meluaskannya.” (QS. Adz-Dzariyat: 47)
Dalam tafsir sains Baiquni, ayat-ayat ini menggambarkan proses dentuman besar dan ekspansi kosmos—gejala yang baru terkuak secara ilmiah setelah abad ke-20.
Baiquni memulai dengan cerita tentang kelahiran jagat raya. Alam semesta, tulisnya, berawal dari “ketiadaan”—sebuah guncangan vakum yang menimbulkan energi luar biasa besar. Dalam terminologi kosmologi modern, peristiwa ini dikenal sebagai Big Bang, ledakan awal yang memulai ruang, waktu, dan materi. Ia menjelaskan dengan rinci fase-fase awal penciptaan: dari suhu 1.000 triliun-triliun derajat dalam waktu 10⁻³⁵ detik, hingga fenomena “inflasi” yang membuat semesta mengembang dengan kecepatan tak terbayangkan.
Ilmuwan modern menyebut masa itu sebagai cosmic soup, campuran partikel dan radiasi yang masih cair. Dari zat alir panas inilah terbentuk atom pertama, lalu galaksi, bintang, dan planet.
Namun Baiquni tak berhenti di situ. Ia memadukan penemuan ilmiah itu dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang menyiratkan dinamika penciptaan alam:
“Dan tidakkah orang-orang kafir mengetahui bahwa ruang waktu dan energi-materi itu dahulu sesuatu yang padu, kemudian Kami pisahkan keduanya.” (QS. Al-Anbiya’: 30)
“Dan ruang waktu itu Kami bangun dengan kekuatan, dan sesungguhnya Kamilah yang meluaskannya.” (QS. Adz-Dzariyat: 47)
Dalam tafsir sains Baiquni, ayat-ayat ini menggambarkan proses dentuman besar dan ekspansi kosmos—gejala yang baru terkuak secara ilmiah setelah abad ke-20.