LANGIT7.ID, Jakarta -
Pondok Pesantren Langitan adalah salah satu pesantren tertua di Indonesia. Maka, tentu ia punya banyak nilai sejarah. Pesantren ini ternyata didirikan oleh salah satu murid Pangeran Diponegoro yaitu KH Muhammad Nur.
Pondok Pesantren Langitan terletak di Dusun Mandungan, Desa Widang, Kec. Widang, Tuban, Jawa Timur. Berada di sebuah dusun kecil nan asri di bantaran kali bengawan Solo, berdiri gagah Pesantren Langitan persis di depan jalur Pantura Surabaya-Semarang.
“Setelah selesai peperangan Diponegoro sekira 1825-1830, seseorang yang bernama KH Muhammad Nur yang berasal dari Tuyuhan, keturunan dari Sayyid Muhammad Abdurrahman Sambu, datang dengan anak-anaknya berjumlah sembilan dan istrinya hijrah ke daerah Plang Wetan, Langitan,” kata Masyaikh Pesantren Langitan, KH Abdullah Habib Faqih, di kanal Ponpes Langitan.
Baca Juga: Ponpes Langitan, Tempat KH Hasyim Asy’ari dan Syaikhona Kholil Nyantri
Awalnya, Kiai Nur hanya mengajari putra-putri beserta istri tentang ajaran agama. Namun, sekitar tahun 1852 datang 25 santri yang ikut belajar kepada Kiai Nur. Itu membuat Kiai Nur membuat sebuah surau atau langgar sebagai tempat belajar dan istirahat para santri.
“Itulah awal mula dari pesantren Langitan. Lalu, beliau mengasuh santri-santri dan putra-putranya, setiap hari mengajar dan ta’lim. Hanya Jumat beliau keluar kampung ke kampung untuk dakwah kepada masyarakat. Begitulah aktivitasnya sampai 18 tahun,” kata Kiai Faqih.
Nama Pesantren Langitan sendiri berasal dari nama daerah tempat pesantren itu berdiri, Plang Wetan atau Plangitan yang kemudian dibaca Langitan. Maka hingga kini Pondok yang didirikan Kiai Nur itu disebut Pesantren Langitan.
Kiai Nur wafat pada 1870 dan dimakamkan di Pemakaman Umum Dusun Mandungan, Desa Widang. Kepengasuhan pondok pesantren lalu dilanjutkan oleh putranya, KH Ahmad Sholeh. Dia merupakan putra kedua Kiai Nur dan mengasuh pesantren sekitar 32 tahun.
Baca Juga: Pondok Pesantren Tertua di Indonesia dan Sejarah Berdirinya
Dalam rentang waktu tersebut tak kurang ulama-ulama besar Nusantara menimba ilmu di Langitan seperti Syaikhona Kholil, KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Syamsul Arifin, dan KH Achmad Shiddiq.
KH Ahmad Sholeh wafat pada 1902 dan dimakamkan di Pemakaman Umum Dusun Mandungan. Pengasuhan lalu diteruskan oleh putra menantu, KH Muhammad Khozin. Beliau mengasuh pondok itu selama 19 tahun (1902-1921 M). Setelah wafat, mata rantai kepengasuhan dilanjutkan oleh menantunya, KH Abdul Hadi Zahid selama kurang lebih 50 tahun (1921-1971 M).
Kepengasuhan lalu dipercayakan kepada adik kandungannya, KH Ahmad Marzuqi Zahid yang mengasuh Pesantren Langitan selama 29 tahun (1971-2000) dan keponakan beliau, KH Abdullah Faqih. Setelah kepergiannya, cita-cita dan komitmen KH Marzuqi Zahid terhadap Pendidikan yang progresif masih terus dilanjutkan KH Abdullah Faqih sampai sekarang.
Perkembangan Pesantren LangitanMengutip laman resmi Pesantren Langitan, perjalanan Pesantren Langitan periode ke periode terus memperlihatkan peningkatan yang dinamis dan signifikan, tapi perkembangannya secara gradual dan kondisional.
Baca Juga: Pesantren Siwalanpanji, Tempat Belajar dan Berjuang Para Ulama Besar
Bermula dari masa KH Muhammad Nur. Periode itu disebut sebagai fase perintisan. Lalu diteruskan masa KH Ahmad Sholeh dan KH Muhammad Khozin yang dapat dikategorikan periode perkembangan. Berlanjut pada kepengasuhan KH Abdul Hadi Zahid, KH Ahmad Marzuqi Zahid, dan KH Abdullah Faqih yang tidak lain adalah fase pembaharuan.
Dalam rentang masa satu setengah abad Pesantren Langitan telah menunjukkan kiprah dan peran yang luar biasa. berawal dari surau kecil berkembang menjadi pondok yang representatif dan populer di mata masyarakat luas, baik dalam negeri maupun mancanegara.
Pesantren Langitan terus berpegang teguh pada kaidah
Al-Muhafadhotu Alal Qodimis Sholih Wal Akhdu Bil Jadidil Ashlah (memelihara budaya-budaya klasik yang baik dan mengambil budaya-budaya yang baru yang konstruktif).
Baca Juga: Tantangan Pesantren di Era Digital, Antara Jaga Tradisi dan Adaptasi Teknologi
Dengan kaidah itu, Pesantren Langitan dalam perjalanannya senantiasa melakukan upaya-upaya perbaikan dan kontekstualisasi dalam merekonstruksi bangunan-bangunan sosio kultural, khususnya dalam hal pendidikan dan manajemen.
Usaha-usaha ke arah pembaharuan dan modernisasi merupakan konsekuensi dunia yang modern. Namun, Pesantren Langitan mempunyai batasan-batasan yang konkret, pembaharuan, dan modernisasi tidak boleh merubah atau mereduksi orientasi dan idealism pesantren.
Atas dasar itu, Pesantren Langitan tidak sampai terombang-ambing oleh derasnya arus globalisasi. Pesantren Langitan justru bisa menempatkan diri dalam posisi yang strategis, dan bahkan kadang-kadang dianggap sebagai alternatif.
(jqf)