LANGIT7.ID, JAKARTA - Hassan Hanafi adalah cendekiawan Muslim asal Mesir, penulis dan profesor filsafat. Ia percaya pada perpaduan cita-cita Islam yang direvitalisasi dan ditafsirkan kembali untuk membawa persatuan di Mesir.
Sebagai seorang reformis pemikiran, Hanafi hendak membawa keadilan sosial dan ekonomi bagi yang tertindas, negara demokratis yang bebas dari dominasi Barat dan pengaruh Zionis, penyatuan dunia Arab, dan pemulihan Islam ke posisi sentral dalam budaya dunia. Ia memandang bahwa manusia dan sejarah adalah pusat kesadaran Islam.
Ia mendorong pengintegrasian kehidupan Muslim modern ke dalam teologi Islam untuk menciptakan teologi pembebasan revolusioner yang memungkinkan umat Islam menghadapi tantangan modern, memerangi kemiskinan, keterbelakangan, represi, westernisasi, dan alienasi. Metode filosofis Hanafi berpijak pada fenomenologi dan hermeneutika dan dia sangat efektif dalam menerapkan metode ini dalam pengajaran keagamaan.
Hasan Hanafi lahir dari keturunan Berber dan Badui Mesir pada tahun 1935. Hanafi memperoleh gelar sarjana dalam bidang filsafat di Universitas Kairo pada tahun 1956 dan gelar doktor d ' état di Sorbonne pada tahun 1966. Dia mengajar bahasa Arab di cole des Langues Orientales untuk melengkapi beasiswa saat dia menjadi mahasiswa pascasarjana di Paris (1956-1966).
Sekembalinya ke Mesir, ia mengajar pemikiran Kristen abad pertengahan dan kemudian filsafat Islam di Universitas Kairo, di mana ia terus menjadi anggota departemen filsafatnya. Sebagai profesor tamu, ia juga mengajar di universitas-universitas di Belgia (1970), Amerika Serikat (1971–1975), Kuwait (1979), Maroko (1982–1984), Jepang (1984–1985), dan Uni Emirat Arab ( 1985), dan dia adalah konsultan akademik di Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa di Tokyo (1985–1987).
Baca Juga: Menag: Pembakaran Al-Quran Merupakan Teror dan EkstremitasKetika remaja, Hanafi menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Khalīl ghā di Kairo (1948–1952). Di sana, ia mulai berkenalan dengan pemikiran dan aktivitas Jamaah Ikhawnul Muslimin. Tentu saja ia bersinggungan dengan pemikiran Hassan al-Banna, Abu al-Hassan an-Nadwi, Muhammad al-Ghazali, serta Sayyid Quthb tentang keadilan sosial dan keislaman.
Saat itulah ia merasakan sesuatu terjadi dalam dirinya. Ia menyadari akan kebangkitan Islam dan umat Islam, menyadari eksistensi, kehidupan, realitas, masyarakat, negara, masa depan, dan misi kehidupannya. Pada musim panas 1952, ia secara resmi bergabung dengan Ikhwanul Muslimin dan, sebagai mahasiswa Universitas Kairo (1952–1956), berpartisipasi penuh dalam gerakan sampai pemerintah membredel Ikhwanul Muslimin.
Studi dan perjalanannya ke luar negeri memperluas cakrawala intelektualnya dan membantu memperdalam keyakinannya bahwa Islam memiliki peran utama dalam budaya dunia sebagai program unik untuk kemanusiaan. Dia percaya pada perpaduan cita-cita ini dalam Islam yang direvitalisasi dan ditafsirkan kembali untuk mewujudkan persatuan nasional di Mesir.
Dalam mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi tauhid), dan kesatuan umat yang menjadi isu Kiri Islam, Hassan Hanafi membangun proyek peradaban Al Turats wa Al Tajdid (Tradisi dan Modernitas). Proyek tersebut mempunyai tiga fokus utama yang mempresentasikan hubungan dialektis antara subyek diri atau umat Islam dengan yang lain atau Barat dalam satu proses sejarah tertentu.
Ketiga konsern tersebut adalah sikap diri terhadap tradisi klasik, yaitu kesadaran diri dalam melihat budaya sendiri yang merupakan bagian sejarah masa lalu; sikap diri terhadap tradisi Barat, yaitu kesadaran diri dalam melihat orang lain, yaitu Barat Modern; dan sikap diri terhadap realitas, yaitu kesadaran diri terhadap realitas kehidupan yang dihadapi, baik yang bersangkutan dengan diri maupun Barat.
(zhd)