LANGIT7.ID-, Jakarta- - Ada dua hal yang memengaruhi perbuatan dosa secara umum, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal seperti keimanan atau ketakwaan, faktor eksternal seperti lingkungan tempat tinggal atau pergaulan seseorang.
Untuk menghindari jatuh ke dalam dosa yang sama, disarankan bagi seorang pendosa yang telah bertaubat untuk melakukan hijrah. Arti dari hijrah secara bahasa adalah berpindah dari satu tempat atau keadaan ke tempat atau keadaan yang berbeda.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, menjelaskan, ada dua bentuk hijrah yang harus dilakukan oleh pendosa, yakni hijrah fisik dan hijrah spiritual. Hijrah fisik lebih kepada hal-hal yang nampak seperti lingkungan.
“Hijrah fisik itu berpindah secara fisik kita berpindah. Bisa pindah domisili atau kalau peristiwanya di kantor, pindah tempat kerja supaya tidak kembali ke (dosa) yang lama,” kata Mu’ti dalam program Kolak TvMu, dikutip Sabtu (29/4/2023).
Sementara, hijrah spiritual adalah memperkuat aspek keimanan dan ketakwaan, yakni meninggalkan semua hal yang dilarang oleh Allah Ta’ala. Peningkatan iman dan takwa bisa dilakukan dengan memperbanyak ibadah. Fokus ke ibadah akan mengalihkan perhatian dari perbuatan maksiat.
Menurut Mu’ti, untuk membantu meneguhkan komitmen dalam berhijrah, termasuk menginspirasi mereka yang ingin berhijrah, maka penting masuk ke komunitas orang-orang beriman. Komunitas itu bisa berupa majelis taklim dan lain sebagainya.
“Katakanlah ada pendosa, dia merasa menyesal dengan semuanya, lalu sekarang bertaubat. Kemudian, senantiasa memberikan nasihat kepada orang tentang pengalamannya supaya yang dia lakukan itu Jangan ditiru dan itu saya kira menjadi bagian penting,” kata Mu’ti.
Akan tetapi, Mu’ti berpesan agar komunitas hijrah itu benar-benar sesuai dengan fungsi di atas dan bukan justru berubah menjadi kelompok yang eksklusif. Berhijrah bukan berarti tidak lagi berinteraksi dengan orang-orang yang berada di luar komunitas.
“Tidak berarti ketika menjadi kelompok yang hijrah itu terus menjadi eksklusif, tidak mau berinteraksi dengan orang lain, menyalahi-nyalahkan orang lain, atau merasa baik sendiri. Karena di Al-Qur’an disebutkan ‘Jangan kamu merasa diri kamu itu bersih’,” ucap Mu’ti.
اَلَّذِيْنَ يَجْتَنِبُوْنَ كَبٰۤىِٕرَ الْاِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ اِلَّا اللَّمَمَۙ اِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِۗ هُوَ اَعْلَمُ بِكُمْ اِذْ اَنْشَاَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ وَاِذْ اَنْتُمْ اَجِنَّةٌ فِيْ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْۗ فَلَا تُزَكُّوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقٰى ࣖ
“(Yaitu) mereka yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, kecuali kesalahan-kesalahan kecil. Sungguh, Tuhanmu Mahaluas ampunan-Nya. Dia mengetahui tentang kamu, sejak Dia menjadikan kamu dari tanah lalu ketika kamu masih janin dalam perut ibumu. Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS An-Najm: 32)
Manusia Tempat Salah
Abdul Mu’ti menjelaskan, setiap manusia niscaya melakukan kesalahan. Namun, sebaik-baik manusia adalah mereka yang segera bertaubat dan tidak mengulangi kesalahan.
Rasulullah SAW bersabda, “Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat.” (HR Tirmidzi 2499)
Mu’ti menerangkan, sikap terbaik seorang muslim yang telah melakukan kesalahan adalah tidak mengulangi kesalahan tersebut. Termasuk tidak berlarut-larut dalam penyesalan. Ini karena Allah Ta’ala Sangat menyukai hamba-Nya yang bertaubat.
“Jadi, yang lalu biarlah berlalu. Kira-kira move on, bahasa Jawanya sing wis yowes, yang sudah ya sudah. Itu Jangan diulangi lagi,” kata Mu’ti dalam program Kolak TvMu, dikutip Jumat (28/4/2023).
Menurut Mu’ti, melakukan kesalahan adalah manusiawi, termasuk ketika seseorang melakukan dosa besar. Oleh karena itu, seorang muslim setelah menyadari kesalahan dan bertaubat, diharapkan untuk tidak berputus asa dari rahmat Allah.
“Karena itu di dalam Al-Qur’an dijelaskan di antara ciri-ciri dari orang yang bertakwa itu adalah orang yang apabila dia berbuat zalim kepada diri mereka sendiri atau dia berbuat sesuatu yang keji, maka dia segera sadar dengan semuanya itu,” ujar Mu’ti.
وَالَّذِيْنَ اِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً اَوْ ظَلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللّٰهَ فَاسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْۗ وَمَنْ يَّغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلَّا اللّٰهُ ۗ وَلَمْ يُصِرُّوْا عَلٰى مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.” (QS Ali Imran: 139)
Seorang muslim diharuskan untuk senantiasa menyadari kesalahannya, sehingga proses pengampunan dapat dilakukan setelah dia menyadari kesalahannya. Terdapat istilah "siap salah" saat ini yang menandakan seseorang harus mengakui kesalahannya dengan sadar, mengingat ada orang yang salah namun tidak mau mengakui kesalahannya.
“Karena itu kalau dia mengaku dirinya sudah bersalah dan kemudian bertaubat, maka ada yang harus dia lakukan berikutnya, apa? Walam yusirruh, dia tidak mengulangi perbuatannya itu lagi,” jelas Mu’ti.
(ori)