LANGIT7.ID-, Jakarta- - Wakil Kepala Bidang Penyelenggaraan Peribadatan BPMI, KH. Abu Hurairah Abd. Salam, menceritakan sebuah kisah perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para sahabat.
Suatu ketika Rasulullah SAW memerintahkan sahabatnya berangkat ke perkampungan Bani Quraidzah. Lalu para sahabat berkata: “Yaa Rasulallah sebentar lagi masuk waktu Ashar, lebih baik kita shalat Ashar dulu, setelah itu kita berangkat?”
Nabi menjawab,“Tidak, kalian berangkat sekarang juga.”
Abu Hurairah menjelaskan, dalam riwayat tentang kisah tersebut, Nabi Muhammad SAW menekankan: “Kalian tidak boleh ada yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidzah.”
Baca juga:
Sepuluh Prinsip Kepemimpinan EfektifDalam perjalanan, tidak ada yang berani shalat Ashar, namun setelah matahari hampir terbenam dan merekapun belum sampai ke perkampungan Bani Quraidzah. Muncullah perbedaan pendapat di antara para sahabat, mereka terpecah menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama mengatakan, “Tadi waktu di Madinah kita tunda shalat Ashar karena waktunya masih sangat luas, sekarang waktunya sudah mau habis, sebaiknya kita berhenti shalat dulu, setelah itu kita teruskan perjalanan.”
“Alasannya, Sholat Ashar itu fardu ain, kalau kita tinggalkan berdosa, dan apa sih susahnya shalat dulu kemudian menlanjutkan perjalanan,” ujar Abu Hurairah menjelaskan.
Sementara kelompok kedua mengatakan, “Tidak bisa”. Itu karena mereka memahami perintah Rasulullah agar tidak shalat Ashar sebelum sampai di tujuan.
“Ini berarti walaupun sudah masuk waktu maghrib, waktu isya sekalipun, kita tidak boleh shalat Ashar, shalatnya nanti kita ganti ketika sudah sampai di perkampungan Bani Quraidzah, sebab begitulah bunyi perintah dan ketentuan dari Nabi,” kata Abu Hurairah.
Saat urusan selesai di Bani Quraidzah, para sahabat itu melapor kepada Rasulullah SAW. Kata Nabi SAW, kelompok yang berhenti shalat Ashar baru kemudian meneruskan perjalanan, itu pendapatnya benar.
“Kelompok yang jalan terus dan tidak shalat kecuali setelah sampai di perkampungan Bani Quraidzah, kata Nabi kalian juga benar, jadi dua-duanya benar dan tidak ada yang salah. Lalu kenapa kita ribut merasa kita yang paling benar, orang lain kalau tidak sama dengan kita bawaannya ingin disalah- salahin, ternyata oleh Nabi juga dibenarkan,” ungkap Abu Hurairah.
Riwayat tersebut memberikan ruang perbedaan pendapat. Artinya, berbeda pendapat bukan perkara terlarang dalam Islam. Hanya saja ada etika yang harus dipahami. Di antaranya, meski berbeda tetap tidak boleh saling mencaci dan menyesatkan.
“Ini terus terang kami sampaikan karena perbedaan pendapat memicu pertengkaran dan konflik apalagi ditengah panasnya kontestasi politik. Ketika kita gagal memahami makna perbedaan, maka ketika itu pula-lah agama menjadi senjata yang ampuh untuk membangkitkan dan menjadi pemicu timbulnya permusuhan diantara kita, dimana agama diperalat sebagai senjata politik untuk memperebutkan kekuasaan,” ujar Abu Hurairah.
(ori)