LANGIT7.ID-, Jakarta- - Kasus perundungan atau bullying di lingkungan sekolah kembali terjadi. Belum lama ini siswa Binus School Serpong, Tangerang, Banten, menjadi korban bullying dari teman-teman sekolahnya.
Beberapa pelaku bullying diduga anak dari figur publik di Indonesia. Masyarakat terhenyak, karena orang tua pelaku bullying dikenal publik sebagai sosok yang menentang penindasan di sekolah dan memiliki parenting yang baik.
Lalu, apa yang menyebabkan seorang anak menjadi pelaku penindasan di sekolah?
Melansir laman Unicef, Selasa (20/2/2024), bullying merupakan suatu pola perilaku, dan bukan suatu kejadian yang terisolasi.
Anak-anak yang melakukan intimidasi biasanya berasal dari status sosial atau posisi kekuasaan yang lebih tinggi, misalnya anak-anak yang lebih besar, lebih kuat, atau dianggap populer.
Baca juga:
Metode Efektif Menstimulasi Otak Kanan Anak dengan Flash CardSementara korban bullying umumnya adalah anak-anak yang berasal dari keluarga miskin, identitas gender yang berbeda, disabilitas, komunitas yang terpinggirkan, hingga anak-anak migran dan pengungsi.
Bullying sendiri dapat terjadi baik secara langsung maupun online. Cyberbullying sering kali terjadi melalui media sosial, SMS/teks atau pesan instan, email, atau platform online apa pun tempat anak-anak berinteraksi.
Lalu, apa yang harus dilakukan orang tua yang anaknya adalah pelaku bullying?
Saat mengetahui bahwa anak Anda menindas anak-anak lain, penting untuk diingat bahwa mereka pada dasarnya tidak jahat, tetapi mungkin bertindak karena beberapa alasan.
Biasanya anak-anak yang mengintimidasi karena hanya ingin menyesuaikan diri, membutuhkan perhatian, atau mencari cara untuk mengatasi emosi yang rumit.
Dalam beberapa kasus, anak-anak yang melakukan intimidasi juga menjadi korban atau saksi kekerasan di rumah atau di komunitasnya.
Berikut langkah-langkah yang harus diambil orang tua dari pelaku bullying untuk menghentikan anak melakukan penindasan:
1. Berkomunikasi
Cari tahu dan memahami tingkah anak dapat membantu orang tua mencari solusinya.
Apakah mereka merasa tidak aman di sekolah? Apakah mereka bertengkar dengan teman atau saudara kandung?
Bila anak kesulitan menjelaskan perilakunya, orang tua dapat berkonsultasi dengan konselor atau ahli kesehatan mental profesional untuk menangani anak-anak.
2. Lakukan cara-cara yang sehat untuk mengatasinya
Minta anak Anda untuk menjelaskan skenario yang membuat mereka frustrasi, dan tawarkan cara bereaksi yang konstruktif.
Gunakan latihan ini untuk bertukar pikiran tentang kemungkinan skenario di masa depan dan respons yang tidak merugikan.
Dorong anak Anda untuk “menempatkan diri Anda pada posisi mereka” dengan membayangkan pengalaman orang yang ditindas. Ingatkan anak bahwa komentar yang dibuat secara online masih menyakitkan di dunia nyata.
3. Introspeksi diri
Anak-anak yang melakukan intimidasi sering kali meniru apa yang dilihat di rumah.
Apakah mereka terkena perilaku berbahaya secara fisik atau emosional dari Anda atau pengasuh lainnya? Lihatlah ke dalam diri dan pikirkan dengan jujur tentang bagaimana Anda melakukan presentasi kepada anak Anda.
4. Beri konsekuensi dan kesempatan untuk melakukan perbaikan
Jika mengetahui anak Anda menjadi pelaku intimidasi, penting untuk memberikan konsekuensi yang pantas dan tanpa kekerasan.
Hal ini dapat membatasi aktivitas mereka, terutama aktivitas yang mendorong terjadinya perundungan (pertemuan sosial, penggunaan layar/media sosial).
Dorong anak Anda untuk meminta maaf kepada teman-temannya dan temukan cara agar mereka menjadi lebih inklusif di masa depan.
(ori)