LANGIT7.ID-, Jakarta- - Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, kita sering terjebak dalam perangkap kesombongan dan keinginan untuk diakui. Namun, bagaimana jika sikap ini justru menggerus pahala ibadah kita? Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar, baru-baru ini membagikan wawasan mendalam tentang makna sejati keikhlasan dalam beribadah dan berbuat baik.
Dalam ceramahnya yang menggugah, Nasaruddin Umar menyoroti kebiasaan buruk yang sering kita lakukan tanpa sadar: mengungkit-ungkit prestasi ibadah. Beliau mengingatkan bahwa sikap ini bukan hanya tidak pantas, tetapi juga bisa menghapus pahala dari perbuatan baik yang telah kita lakukan.
"Orang yang suka ngungkit-ngungkit prestasi, jasa, itu pertanda orang tidak ikhlas," tegas Nasaruddin Umar. Pernyataan ini menjadi cambuk bagi kita semua untuk introspeksi diri, dikutip Minggu (11/8/2024).
Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa kebiasaan mengungkit-ungkit prestasi ibadah seringkali muncul dalam hubungan kita dengan sesama manusia, padahal kita tidak berani melakukannya kepada Allah. Ini menunjukkan bahwa pemahaman spiritual kita masih dangkal.
Nasaruddin Umar juga menyinggung fenomena yang kerap terjadi di dunia politik. Para politisi yang gemar memamerkan prestasi dan jasa mereka atau keluarga mereka demi popularitas, menurut beliau, berisiko kehilangan pahala di akhirat. Beliau mengibaratkan mereka sebagai "pembawa ember bocor ke akhirat", di mana semua kebaikan yang mereka lakukan hanya untuk kepentingan duniawi.
Ceramah ini juga menyoroti tren kampanye politik yang dipenuhi foto dan gambar kandidat di setiap sudut jalan. Nasaruddin Umar mengingatkan bahwa hal ini bertentangan dengan prinsip keikhlasan dalam Islam.
Sebagai penutup, beliau memberikan nasihat yang sangat bermakna: "Tanamlah seluruh kebajikannya di bumi ketidakterkenalan jika ingin panen di akhirat." Ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa keikhlasan sejati terletak pada perbuatan baik yang dilakukan tanpa mengharapkan pengakuan atau pujian dari orang lain.
Pesan Nasaruddin Umar ini sangat relevan di era digital saat ini, di mana media sosial seringkali menjadi ajang pamer prestasi, termasuk prestasi ibadah. Kita diingatkan untuk menjaga niat dalam beribadah dan berbuat baik, fokus pada ridha Allah, bukan pada pengakuan manusia.
Ceramah ini juga mengajak kita untuk merefleksikan kembali makna ibadah dalam kehidupan sehari-hari. Apakah kita beribadah untuk mencari ridha Allah atau sekadar untuk dipuji orang lain? Apakah kita melakukan kebaikan dengan tulus atau ada motif tersembunyi di baliknya?
Dalam konteks yang lebih luas, pesan ini juga relevan bagi para pemimpin dan tokoh publik. Mereka diingatkan bahwa kepemimpinan sejati bukan tentang popularitas atau pujian, melainkan tentang pelayanan yang tulus kepada masyarakat.
Akhirnya, ceramah Nasaruddin Umar ini menjadi pengingat berharga bagi kita semua untuk selalu menjaga keikhlasan dalam beribadah dan berbuat baik. Di tengah dunia yang semakin berorientasi pada citra dan popularitas, kita diajak untuk kembali pada esensi sejati ibadah: mengharap ridha Allah semata.
(lam)