LANGIT7.ID-, Paris- - Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu'ti, yang kini sedang menghadiri forum internasional yang bergengsi di Paris, mengidentifikasi lima tantangan utama yang dihadapi agama-agama di Asia Raya dalam era kontemporer. Pernyataan Prof Mu'ti ini disampaikan dalam sebuah forum internasional bertajuk "Imagine Peace, International Meeting for Peace" yang berlangsung di Paris pada 22-24 September 2024.
Prof Mu'ti hadir sebagai pembicara di Forum 10 yang dilaksanakan pada 23 September 2024 dengan tema "LA GRANDE ASIE : UN GRAND DEFI POUR LES RELIGIONS" atau dalam bahasa Indonesia "ASIA RAYA: TANTANGAN BESAR BAGI AGAMA-AGAMA". Forum ini menghadirkan sejumlah tokoh agama terkemuka dari berbagai negara dan aliran kepercayaan.
Peserta forum tersebut termasuk Alberto Quattrucci (Sekretaris Jenderal, Manusia dan Agama, Komunitas Sant'Egidio, Italia), Felix Anthony Machado (Uskup Agung Katolik, India), Swami Atmarupananda (Biksu Misi Ramakrishna, India), Michihiro Kiyose (Tenrikyo, Jepang), Kojitsu Kobori (Buddhisme Tendai, Jepang), Hideki Morioka (Buddhisme Nichiren-Shu, Jepang), Antonio Salimbeni (Gerakan Focolare, Italia), Bhai Sahib Mohinder Singh Ahluwalia (Pemimpin spiritual dan presiden Guru Nanak Nishkam Sewak Jatha, India), Didi Talwalkar (Pemimpin gerakan Swadhyaya, India), dan Tsunekiyo Tanaka (Presiden Shinto, Jinjya-Honcho, Jepang).
Dalam paparannya, Prof Mu'ti menyoroti lima tantangan utama: krisis kesehatan mental, masyarakat yang menua, isu-isu kemanusiaan, krisis lingkungan, dan ketimpangan ekonomi. "Masa depan agama bergantung pada kemampuannya menjawab tantangan-tantangan besar ini," ujar Prof Mu'ti yang juga guru besar UIN Jakarta ini.
Terkait dengan era digital, Prof Mu'ti menyinggung perlunya kontekstualisasi nilai-nilai agama agar tetap relevan. "Di era digital ini, Tuhan mungkin digantikan oleh Google. Posisi pendeta mungkin digantikan oleh AI," katanya, menekankan pentingnya agama untuk tetap bermakna dalam membimbing umat di kehidupan nyata.
Prof Mu'ti juga menyoroti fenomena "moneyteisme" - pengutamaan materi di atas segalanya - yang mengancam nilai-nilai spiritual tradisional. "Dalam masyarakat ini, monoteisme bisa digantikan oleh moneyteisme," tambahnya.
Untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut, Prof Mu'ti menyerukan agar komunitas agama tidak hanya mengandalkan toleransi dan dialog. "Toleransi dan dialog saja tidak cukup. Kita perlu kolaborasi dan kerja sama nyata untuk membuat agama tetap bermakna bagi kehidupan nyata," tegasnya.
Pernyataan Prof Mu'ti ini membuka diskusi lebih lanjut tentang bagaimana agama dapat beradaptasi dan memberikan solusi terhadap masalah-masalah kontemporer di Asia. Tantangan-tantangan yang diidentifikasi mencerminkan kompleksitas perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi yang dihadapi masyarakat Asia saat ini.
Dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi dan perubahan sosial, peran agama di Asia menghadapi ujian besar. "Kemampuan para pemuka agama untuk beradaptasi dan memberikan jawaban atas permasalahan kontemporer akan menentukan relevansi mereka di masa depan," ujar Prof Mu'ti mengakhiri presentasinya.
(lam)