LANGIT7.ID-Jakarta; China menargetkan Asia Tenggara dengan proyek-proyek seperti kawasan industri, pelabuhan, pabrik pengolahan nikel, pabrik mobil, dan banyak lagi. Serial CNA China And The Global South mengkaji dampaknya di tengah ketidakpastian akibat tarif impor AS.
Jika Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dipaksa memilih antara dua kekuatan global, 71% rakyat Malaysia lebih memilih China daripada Amerika Serikat.
Data tersebut berasal dari survei State of Southeast Asia 2025 yang dirilis bulan lalu oleh ISEAS – Yusof Ishak Institute di Singapura.
Menurut Ong Kian Ming, mantan Wakil Menteri Perdagangan Internasional dan Industri Malaysia, selain tarif impor Donald Trump, salah satu alasan dukungan Malaysia terhadap China adalah "pentingnya ekonomi China yang terus tumbuh" di kawasan ini.
Masyarakat bisa melihatnya melalui sektor pariwisata, investasi asing langsung (FDI) di berbagai bidang, bahkan "kehadiran lebih banyak warga China yang datang ke Malaysia untuk membuka usaha," ujarnya.
Transformasi Proton, merek mobil nasional Malaysia, dan proyek East Coast Rail Link yang akan segera beroperasi—keduanya melibatkan peran besar Beijing—adalah contoh nyata mengapa rakyat Malaysia optimis bekerja sama dengan China.
Sementara di Indonesia, survei Maret tahun lalu menunjukkan sekitar 73% warga Indonesia menganggap aktivitas Beijing di Laut China Selatan sebagai ancaman bagi kedaulatan negara mereka.
Namun, dalam survei State of Southeast Asia 2025, dukungan untuk bekerja sama dengan China justru paling tinggi di Indonesia (72%).
Terlepas dari apakah Indonesia memandang China sebagai musuh militer atau mitra ekonomi yang andal, negara ini sangat strategis bagi Beijing.
Pertama, Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, kata Victor Gao, Wakil Presiden Centre for China and Globalisation. Kedua, posisi geopolitiknya yang membentang "jarak sangat panjang dari timur ke barat—dengan begitu banyak pulau."
Dia menambahkan, Indonesia memiliki "potensi ekonomi besar," terutama dengan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Nusantara di Kalimantan Timur. "Ini akan membutuhkan banyak kerja keras dan terobosan teknik—serta investasi modal yang sangat besar."
Indonesia juga memiliki komunitas diaspora China terbesar, lebih dari 11 juta orang. Hal ini membuat Indonesia "sangat spesial" dari perspektif China, meski banyak dari mereka telah menjadi warga negara Indonesia.
Malaysia dan Indonesia adalah dua negara di mana China sedang gencar melakukan penetrasi melalui proyek-proyek seperti kawasan industri, pelabuhan, pabrik pengolahan nikel, pabrik mobil, dan lainnya.
Di tengah ketegangan dengan AS, Beijing fokus pada pasar Global South yang mewakili 85% populasi dunia. Dan ekonomi *Global South* terbesar di pintu China adalah ASEAN—dengan total PDB US$3,8 triliun (Rp58.000 triliun) pada 2023, menempatkannya sebagai ekonomi terbesar kelima di dunia.
Baru pekan ini, ASEAN, China, dan Gulf Cooperation Council menggelar pertemuan puncak perdana untuk memperkuat kerja sama.
Dengan tarif Trump yang menimbulkan ketidakpastian, apakah negara-negara ASEAN seperti Malaysia dan Indonesia akan beralih ke China? Serial China And The Global South dari CNA menelusurinya.
East Coast Rail Link: Proyek Besar China di MalaysiaSalah satu proyek China yang sedang dibangun di Malaysia adalah East Coast Rail Link (ECRL) sepanjang 665 km, menghubungkan Pelabuhan Klang—pelabuhan tersibuk Malaysia—dengan pantai timur, dan berakhir di Kelantan, dekat perbatasan Thailand.
Ketika beroperasi pada Januari 2027 (dengan 20 stasiun), kereta ini akan mengangkut barang dan penumpang melintasi Malaysia dengan kecepatan hingga 160 km/jam.
Proyek ini merupakan pencapaian teknik yang luar biasa, dengan tim China menggunakan mesin raksasa untuk mengebor terowongan melalui pegunungan.
Namun, proyek semegah ini mahal harganya. Biaya pembangunannya semula Rp215 triliun (US$15,5 miliar) di era pemerintahan Najib Razak, kemudian direnegosiasi menjadi Rp165 triliun (US$12 miliar) di bawah pemerintahan Anwar Ibrahim.
Ini menjadikannya proyek kereta api Belt and Road termahal di Asia Tenggara—bandingkan dengan Laos-China Railway yang hanya menelan US$6 miliar (Rp90 triliun).
Proyek kereta China di berbagai negara sering dikritik karena kurang melibatkan kontraktor lokal dan menggunakan bahan, tenaga kerja, serta teknologi sepenuhnya dari China. Pemerintah Malaysia berusaha meredam kekhawatiran ini.
Menteri Transportasi Malaysia Anthony Loke menyebut kesepakatan kedua negara untuk melibatkan perusahaan lokal dalam setidaknya 40% pekerjaan sipil.
Soal dampak proyek terhadap kesehatan fiskal Malaysia, dia mengakui: "Kami mewarisi proyek ini. Kami tidak punya pilihan, tapi berusaha memaksimalkannya."
Dia merujuk pada renegosiasi 2019 di mana pihak China menanggung 50% liabilitas (lewat joint venture) jika terjadi kerugian operasional selama masa pinjaman. Namun, jika untung, China hanya mengambil 20%, sementara Malaysia 80% untuk pembayaran utang.
Loke menambahkan, ECRL diharapkan mendorong industrialisasi di pantai timur—yang relatif tertinggal—dengan biaya lahan lebih murah.
Salah satu kawasan industri yang sudah menunggu ECRL adalah Malaysia-China Kuantan Industrial Park, yang telah menarik investasi Rp75 triliun (per Oktober 2023) dan menciptakan 14.000 lapangan kerja.
Kawasan ini terhubung dengan Pelabuhan Kuantan—yang dikembangkan perusahaan China, Guangxi Beibu Gulf International Port Group. Pelabuhan ini hanya membutuhkan tiga hari untuk mencapai Guangxi, China.
Loke menyebut, jalur kereta antara Pelabuhan Klang dan Kuantan akan menjadi "jembatan darat" antara Selat Malaka dan Laut China Selatan—penting untuk keamanan dan rantai pasok jika terjadi ketegangan di kawasan tersebut.
Transformasi Proton oleh ChinaDi pantai barat Malaysia, rencana ambisius lain sedang berjalan: mengubah Perak menjadi pusat otomotif nasional dan basis produksi kendaraan listrik (EV) regional.
"Kami tahu negara tetangga juga menarik banyak produsen EV. Malaysia harus meningkatkan daya saing," kata Loke.
Salah satu upayanya adalah dengan bantuan robot canggih China yang merakit ribuan mobil di Proton City, Tanjung Malim.
Ini adalah bagian dari transformasi Proton sejak 2017, ketika Zhejiang Geely Holding Group China membeli 49,9% sahamnya. Langkah pertama adalah meluncurkan SUV X70 pada 2018.
"Ini bagian dari transformasi teknologi Proton. Kami juga belajar efisiensi operasional sehingga biaya turun," kata Wakil CEO Roslan Abdullah.
Pada Desember lalu, Proton meluncurkan EV pertama buatan lokal, e.Mas 7, dengan harga mulai dari Rp200 juta. Anwar Ibrahim berharap ini menjadi batu loncatan bagi ekosistem EV Malaysia.
Menurut Ong, kemitraan Geely-Proton bisa menjadi "studi kasus bisnis yang bagus bagi perusahaan China dan pihak lain yang ingin melihat bagaimana perusahaan China mengubah entitas lokal di negara lain."
Wartawan otomotif Daniel Fernandez menyebut investasi Geely sebagai "kesuksesan besar" bagi Proton. "Kini tidak ada lagi bailout dari pemerintah. Generasi tua yang dulu tidak percaya Proton pun mulai kembali, dan generasi muda kini nyaman membeli Proton."
Meski China masuk dalam lima besar sumber FDI Malaysia, Ong menekankan bahwa investasinya tidak melebihi 20% total FDI—menunjukkan pendekatan seimbang Malaysia.
"Kebijakan luar negeri kami tetap netral. Kami ingin menarik investasi dari AS, China, Eropa, Timur Tengah, Jepang, dan Korea," tegas Loke.
Kereta Cepat Whoosh dan Impian Nikel Indonesia![China Memikat Malaysia dan Indonesia dengan Investasi Besar-besaran. Apakah Rencana Ini Berhasil?]()
Di Indonesia, Bandung—yang dulu dikembangkan Belanda sebagai resort—kini merasakan dampak ekonomi besar berkat kereta cepat Whoosh senilai US$7,3 miliar (Rp110 triliun).
Dengan jarak 142 km dari Jakarta yang bisa ditempuh dalam 40 menit (kecepatan maksimal 350 km/jam), bisnis di Bandung semakin ramai.
"Kunjungan untuk rapat dan konferensi meningkat lebih dari 20%. Pelanggan terus kembali," kata Bayu Aji, mantan Director of Sales Marketing Mason Pine Hotel.
Mantan Menteri Perdagangan Mari Pangestu menyebut respons masyarakat terhadap Whoosh "sangat cepat dan luar biasa." "Kami bangga ini bisa terwujud di Indonesia, dengan kerja sama teknik dan pelatihan dari China."
China juga menjadi mitra utama Indonesia dalam pengembangan sektor nikel—cadangan terbesar dunia untuk baterai lithium EV.
Investor China tidak hanya membangun smelter di Sulawesi, tetapi juga pabrik bahan baterai dan mobil listrik. Misalnya:
- BTR New Material Group (China) dan *Stellar Investment (Singapura) berinvestasi US$478 juta (Rp7,2 triliun) untuk pabrik bahan baterai.
- Produsen EV China GAC Aion akan membuka pabrik di Indonesia tahun ini, target produksi 50.000 unit/tahun.
- BYD berinvestasi US$1 miliar (Rp15 triliun), operasional mulai awal 2025.
- CNGR Advanced Material berencana membangun fasilitas terintegrasi senilai US$10 miliar (Rp150 triliun).
Ini semua bagian dari kebijakan downstreaming—pilar penting rencana Presiden Prabowo Subianto.
"Perusahaan China punya teknologi paling maju dan efisien. Mereka mendominasi 10 besar produsen baterai lithium dunia," kata Septian Hario Seto, Sekretaris Eksekutif Dewan Ekonomi Nasional.
Dua Sisi Koin![China Memikat Malaysia dan Indonesia dengan Investasi Besar-besaran. Apakah Rencana Ini Berhasil?]()
Prioritas terbaru Indonesia adalah bergabung dengan BRICS—resmi menjadi anggota pada 7 Januari 2024, yang pertama di ASEAN.
Beberapa pengamat melihat ini sebagai tanda Indonesia condong ke Beijing. Namun, Carlyle Thayer dari University of New South Wales menyatakan: "Indonesia juga ingin masuk OECD. Ini tentang memperluas pengaruh."
Septian menegaskan kebijakan luar negeri Indonesia berbasis kepentingan nasional: "Kami tidak ingin memihak blok mana pun."
Namun, Ryan Hass dari Brookings Institution menyebut strategi China adalah "membuat negara lain bergantung secara ekonomi, sambil membangun dominasi militer."
Indonesia termasuk negara yang berpotensi bersinggungan dengan klaim teritorial China di Natuna. Namun, Victor Gao membantah: "China dan Indonesia tidak pernah memiliki konflik teritorial."
Untuk mengimbangi, Indonesia memperkuat pertahanan dengan bantuan Jepang (kapal patroli cepat) dan berpartisipasi dalam latihan militer AS-Australia (Talisman Sabre).
Tapi di saat yang sama, Jakarta dan Beijing berencana menggelar latihan militer bersama tahun ini.
"Kami melihat China sebagai pasar penting, sumber investasi, dan turis. Tapi ada juga isu tenaga kerja China seperti dulu dengan investasi Jepang," kata Mari Pangestu.
Soal Natuna, dia berharap pragmatisme ekonomi menang: "Mungkinkah dikembangkan bersama? Itu pandangan yang lebih realistis."(*/saf/CNA)
(lam)