LANGIT7.ID-Di tengah perdebatan modern soal
kesetaraan gender dan peran domestik dalam keluarga, Islam sejak awal telah menetapkan satu hal yang fundamental: suami adalah pemimpin dalam rumah tangga. Pernyataan ini bersumber dari Al-Qur’an,
"Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum perempuan." (QS Al-Nisa’ [4]: 34)
Namun, kepemimpinan di sini bukan lisensi untuk dominasi. Ia adalah amanah yang sarat beban, bukan singgasana kehormatan yang bebas dari kritik. Itulah inti yang ditegaskan
Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam tafsir sosialnya yang humanistik dalam
Wawasan Al-Qur’an.
Dua Alasan, Satu AmanahAl-Qur’an menyodorkan dua alasan utama mengapa laki-laki menjadi pemimpin keluarga:
1. Karena Allah memberikan kelebihan tertentu kepada laki-laki.
2. Karena laki-laki wajib menafkahi keluarganya.
Baca juga: Imam Ghazali: Puasa Tak Cukup Hanya Menahan Lapar, Dahaga, dan Hubungan Suami Istri Alasan kedua cukup logis dan kasat mata: yang memberi nafkah, mendapat hak mengatur. Tapi alasan pertama – yakni soal kelebihan – menuntut tafsir yang lebih subtil. Bukan kelebihan mutlak, melainkan kecenderungan psikis dan biologis yang membentuk pola tanggung jawab. Quraish Shihab mengutip psikolog bahwa perempuan secara umum bergerak dengan perasaan, sementara laki-laki dengan nalar. Bukan berarti perempuan tak rasional, tetapi dominasi kepekaan emosional itulah yang membuatnya unggul dalam mengasuh, bukan memimpin.
Kelebihan yang Bukan KeistimewaanAyat lain menegaskan bahwa meskipun suami memiliki “satu derajat kelebihan”, itu bukan berarti superioritas absolut.
"Para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf, akan tetapi para suami mempunyai satu derajat kelebihan atas mereka." (QS Al-Baqarah [2]: 228)
Imam Ath-Thabari menafsirkan “kelebihan” itu sebagai anjuran bagi suami untuk lebih toleran dan santun, bukan sewenang-wenang. Bahkan Al-Ghazali menegaskan, suami yang baik adalah yang bersabar terhadap kesalahan istri, dan memperlakukannya dengan lembut saat ia sedang emosional.
Pemimpin rumah tangga, menurut Quraish Shihab, adalah seperti kepala negara. Ia wajib memastikan “rakyatnya” – istri dan anak – sejahtera lahir-batin. Dan seperti kata Imam Fakhruddin Ar-Razi, pemimpin rumah tangga bukan hanya didengar, tapi juga harus mendengar. Istri punya hak untuk berdiskusi, memberi pandangan, bahkan menyanggah jika perlu.
Baca juga: Gael Monfils, Elina Svitolina, Pasangan Suami Istri Sama-Sama Tumbangkan Petenis Peringkat 4 Dunia Jika Bahtera RetakApa yang harus dilakukan jika suami gagal mengayomi dan istri enggan mengikuti? Al-Qur’an punya mekanisme damai:
"Jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka utuslah seorang hakam (penengah) dari keluarga laki-laki dan seorang dari keluarga perempuan..." (QS Al-Nisa’ [4]: 35)
Langkah ini menunjukkan bahwa Islam tidak mengandalkan otoritas tunggal suami dalam menyelesaikan konflik. Justru dibuka ruang musyawarah keluarga, penengah independen, dan ikhtiar perbaikan dua arah. Hanya jika semua gagal, perceraian menjadi jalan akhir.
Bukan Raja, Tapi Penanggung JawabKepemimpinan dalam rumah tangga adalah fungsi manajerial spiritual, bukan struktur kekuasaan mutlak. Dalam Islam, pemimpin bukan raja yang mengatur segalanya, melainkan hamba yang lebih dulu ditanya kelak di hadapan Allah. Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya." (HR Bukhari-Muslim)
Baca juga: Bulan Muharram: Pernikahan Ali dan Fatimah, Tak Ada Mas Kawin Berlimpah Karena itu, kepemimpinan dalam keluarga bukan tentang siapa yang lebih kuat, tetapi siapa yang lebih siap memikul beban dan memperjuangkan kesejahteraan bersama. Kepemimpinan itu tak meniadakan musyawarah, melainkan menjadikannya fondasi utama harmoni rumah tangga.
Suami memimpin, istri mengimbangi. Tapi di atas semuanya, keduanya dipimpin oleh nilai: cinta, keadilan, dan takwa.
(mif)