LANGIT7.ID- Setiap orang menanggung masa lalu, tetapi tidak semua berani mengakuinya. Di dalam tradisi Islam, keberanian itu bernama taubat. Bukan sekadar penyesalan, melainkan tekad menempuh jalan pulang. Dan Al Qur'an, seperti terdengar dari ayat-ayatnya, membuka pintu itu selebar-lebarnya.
Dalam bukunya,
At-Taubat Ila Allah (Maktabah Wahbah, 1998), Syaikh Yusuf al-Qardhawi menulis: tidak ada konsep spiritual yang lebih lembut, lebih menenteramkan, sekaligus lebih tegas tentang tanggung jawab personal daripada taubat. Ia adalah seruan agar manusia tak membiarkan dirinya tenggelam dalam aib, tapi juga agar tidak tenggelam dalam putus asa.
Ayat pertama yang sering dijadikan pijakan datang dari surat Al Baqarah ayat 222. Allah menyatakan menyukai orang yang bertaubat. Dalam bahasa yang sederhana, ini adalah deklarasi kasih sayang. Posisi tertinggi seorang hamba bukanlah pada prestasi ibadahnya, melainkan pada keberaniannya kembali setelah jatuh.
Dalam sejumlah tafsir klasik, seperti karya Ibn Katsir dan Ath-Thabari, ayat ini dipandang sebagai pengakuan bahwa manusia tak bisa luput dari khilaf. Kesucian bukan keadaan permanen; ia dirawat oleh repetisi pengakuan dan permohonan maaf.
Kisah tentang kelompok ibadurrahman dalam Al Furqan ayat 68–70 semakin memperjelas cakrawala ampunan itu. Mereka—yang tidak menyekutukan Allah, tak membunuh tanpa hak, dan tak berzina—dijanjikan surga. Tetapi bahkan bagi mereka yang terlanjur melakukan dosa berat, Al Qur'an menawarkan kemungkinan: keburukan mereka bisa diganti dengan kebaikan.
Para ulama tafsir menyebut ini sebagai transformasi moral. Sebuah proses yang tidak hanya menghapus dosa, tetapi mengubah bekas luka menjadi cahaya. Muhammad al-Ghazali dalam tafsir tematiknya menyebut ayat ini sebagai “psikoterapi Ilahi terhadap manusia yang pernah terjerembab”.
Namun ayat paling dramatis, dalam arti paling manusiawi, datang dari Az-Zumar ayat 53: Jangan berputus asa dari rahmat Allah. Di sini, Al Qur'an berbicara langsung pada mereka yang merasa kesalahannya terlalu besar. Ibn Taymiyyah dalam
Majmu’ Fatawa menegaskan: ayat ini mencakup seluruh dosa tanpa kecuali. Hanya satu yang tidak: keputusasaan itu sendiri.
Hadis riwayat Ibnu Majah kembali meneguhkan hal yang sama. Rasulullah menyatakan bahwa dosa yang menjulang sampai langit pun akan diampuni jika pelakunya bertaubat. Pesannya: selama ada pengakuan, langit tidak menutup diri.
Al Qur'an tidak hanya memberi semangat taubat; ia juga menggambarkan bagaimana alam semesta merespons orang-orang yang kembali. QS Ghaafir ayat 7–9 menampilkan adegan kosmik: para malaikat yang memikul Arasy, makhluk paling dekat kepada Tuhan, memohonkan ampun untuk orang-orang beriman.
Dalam tafsir Fakhruddin ar-Razi, ayat ini menunjukkan bahwa taubat bukan hanya peristiwa pribadi. Ia adalah perhatian kosmik: para malaikat sibuk memikirkan keselamatan orang-orang yang di bumi sedang belajar memperbaiki diri.
Kata at-Tawwab—Yang Maha Penerima Taubat—disebut sebelas kali dalam Al Qur'an. Dalam tradisi sufi, seperti ditulis oleh al-Qusyairi, pengulangan ini adalah bukti bahwa taubat bukan sekadar pengecualian bagi pendosa, tetapi bagian dari ritme dasar hubungan manusia dengan Tuhan.
Ayat-ayat lain menambah detailnya. At-Taubah ayat 104 menyebut bahwa Allah menerima taubat dan zakat; Asy-Syuuraa ayat 25 menegaskan bahwa Dia memaafkan kesalahan; Al Maaidah ayat 39 menunjukkan bahwa bahkan pencuri, dengan perbaikan diri, dapat kembali diterima. Pada Al An'aam ayat 54 dan An-Nahl ayat 119, perbaikan (islah) menjadi syarat yang menghadirkan dimensi etis: taubat adalah perubahan.
Dalam narasi-narasi para nabi, seperti taubat Nabi Musa bagi kaumnya (Al Baqarah ayat 54) dan doa Nabi Ibrahim serta Ismail (Al Baqarah ayat 128), tampak bahwa taubat bukan hanya milik orang-orang yang bersalah, tetapi milik manusia sebagai makhluk yang selalu tidak selesai.
Taubat, dalam pembacaan Qardhawi, adalah perjalanan pulang yang tak pernah ditutup. Bahkan ketika manusia menganiaya diri sendiri, pintu itu tetap terbuka—sebagaimana ditegaskan Al Qur'an dalam An-Nisa ayat 64.
Pada akhirnya, ajaran taubat dalam Al Qur'an bukanlah wacana tentang dosa, melainkan tentang harapan. Tentang keberanian menghadapi bayang-bayang sendiri. Dan tentang Tuhan yang tidak menampik siapa pun yang mengetuk pintu-Nya, sekalipun dengan tangan gemetar.
Dalam dunia yang serba menghakimi, ayat-ayat ini adalah ruang teduh: tempat manusia belajar memulai lagi.
(mif)