LANGIT7.ID, Jakarta - Ibnu Khaldun adalah Bapak Sosiologi Modern Islam, jauh sebelum Auguste Comte menelurkan teori Hukum Tiga Tahap pada lima abad kemudian. Ibnu Khaldun menganggap sejarah sebagai ilmu yang penting dipelajari, bukan hanya ceria-cerita yang dicatat.
Pengamatannya terhadap kehidupan dan kebudayaan Arab-Islam pada Abad 14 penuh akan penjelasan dan penalaran baru serta refleksi-refleksi yang mendorong pembentukan ilmu filsafat sosial. Berangkat dari pengalaman dan pengamatannya yang tajam, Ibnu Khaldun merajut pikiran-pikiran kritisnya.
Ia banyak menulis tentang hal-hal yang berkaitan dengan sistem kemasyarakatan dan kenegaraan berikut kritik-kritik inovatif terhadap cakupan sejarah sebagaimana tertuang dalam magnum opusnya, Muqaddimah. Dalam pengantarnya, Ibnu Khaldun menuliskan:
Ilmu sejarah merupakan ilmu yang mulia madzhabnya, besar manfaatnya, dan bertujuan agung. Ilmu sejarah menyebabkan kita dapat mengetahui perilaku dan akhlak umat-umat terdahulu, jejak-jejak para Nabi, para raja dengan kerajaan dan politik mereka sehingga dapat dijadikan pelajaran oleh orang-orang yang mengambil pelajaran, baik dalam urusan dunia maupun urusan agama.
Baca Juga: Habiburrahman El Shirazy: Waktu Merupakan Nikmat Terbesar dari AllahIbnu Khaldun dilahirkan di Tunis, Tunisia pada 1 Ramadhan 732 Hijriah yang bertepatan dengan 27 Mei 1332 Masehi. Leluhurnya merupakan transmigran Andalusia (Spanyol Muslim) yang kelak menetap ke Tunis pada pertengahan abad ke-7 Hijriah.
Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Al Hasan bin Jabir bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Khaldun Al Hadrami. Al Hadrami menandakan asal usul Ibnu Khaldun yang berasal dari Hadramaut, Yaman.
Ia mempercayai laporan dari Ibnu Hazm, seorang sejarawan dan ahli genealogi yang melaporkan bahwa silsilahnya bersambung kepada Wail ibn Hujr, salah seorang Sahabat Nabi Muhammad. Leluhurnya, Bani Khaldun atau Khalid bin Usman bin Hani bin Al Khattab merupakan seorang politis berpengaruh yang turut membangun pemerintahan di wilayah Andalusia.
Minat terhadap politik dan intelektual mengalir dalam darahnya. Di masa remajanya, Ibnu Khaldun sering terlibat dalam kegiatan intelektual di kota kelahirannya, di samping mengamati dari dekat kehidupan politik yang dilakukan ayah dan kakeknya.
Kakeknya pernah menjabat menteri keuangan di Tunis, sementara ayahnya sendiri adalah seorang administrator dan perwira militer. Ibnu Khaldun di masa kecilnya ternyata lebih tertarik pada dunia ilmu pengetahuan. Dia dibesarkan di pangkuan ayahnya yang juga guru pertamanya.
Baca Juga: Adian Husaini: Sekolah Bukan Pabrik, Murid Bukan ProdukDari ayahnya, Ibnu Khaldun mendapat pengajaran Alquran dan mempelajai ragam cara membaca dan penafsirannya. Ia juga menekuni ilmu hadits dan fiqih. Ibnu Khaldun melanjutkan studinya hingga berumur 18 tahun.
Di usianya yang relatif muda, ia telah menguasai ilmu sejarah, sosiologi dan beberapa ilmu klasik, termasuk
ulum aqliyah (ilmu filsafat, tasawuf dan metafisika). Ibnu Khaldun mempelajari ilmu pada sejumlah guru, yang terpenting adalah: Abu Abdillah Muhammad bin al-Arabi al-Hashasyiri, Abu al-Abbas Ahmad bin al-Qushshar, dan guru
Saat pemikiran Ibnu Khaldun mulai cemerlang di wilayah Andalusia, di dunia pemikiran barat mulai mengalami titik jenuh. Masa hidup Ibnu Khaldun berbarengan dengan era Filsafat Skolastik Akhir di mana rasa jemu menghinggapi para sarjana sehingga memperlihatkan stagnasi berpikir.
Baca Juga: Kisah Leopold Weiss, Intelektual Muslim Eks Yahudi Paling Berpengaruh di DuniaSelain sebagai politisi, Ibnu Khladun juga dikenal senang melakukan pengembaraan intelektual. Perjalannya dimulai dari Tunisia, Maroko, Al Jazair, Jazairah Arab, hingga Mesir. Dua faktor utama tersebut yang membuatnya gandrung akan ilmu sejarah dan sosial.
Dalam mempelajari ilmu sejarah, Ibnu Khaldun menekankan pentingnya penggunaan akal untuk menalar dan meneliti fenomena-fenomena yang muncul. Menurut dia, bila sejarah hanya didasarkan pada penukilan tanpa menilik kepada prinsip-prinsip adat, kaidah-kaidah politik, tabiat peradaban, kondisi-kondisi sosial masyarakat, serta yang gaib, lalu tidak difaktualkan, maka sejarah seperti itu tidak aman dari kekeliruan dan penyimpangan dari kebenaran.
Baca Juga: Heboh Pilot Ganteng Baca Surat Az-Zukhruf Sambil Terbang(zhd)