Bias Politik Identitas di Indonesia, Selalu Dikaitkan pada Agama
Muhajirin
Senin, 19 September 2022 - 11:35 WIB
ilustrasi (foto: langit7.id/istock)
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed, menilai politik identitas tidak bisa dihilangkan dari negara demokrasi. Namun, hal yang menjadi masalah, politik identitas selalu hanya dikaitkan dengan agama saja.
“Politik identitas bisa dikurangi. Tapi, sekarang orang berbicara mengenai politik identitas, tapi yang selalu dituding adalah agama. Menurut saya itu bias. Politik identitas itu bisa berbasis suku, etnis, bahkan berbasis social origin,” kata Prof Mu’ti saat berbincang dengan LANGIT7.ID di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat, Tangerang Selatan, beberapa waktu lalu.
Bahkan, kata dia, bisa muncul fenomena putra daerah vis a vis pendatang. Kadang, orang yang disebut putra daerah jika berdarah leluhur suatu daerah, meski tidak pernah datang ke daerah tersebut masih disebut putra daerah.
Baca Juga: Rocky Gerung Sebut Islam Identitas Politik Kebangsaan
Dia mencontohkan, orang yang lahir di Jakarta dan besar di ibu kota tapi memiliki darah Papua, sehingga dianggap orang asli Papua. Sedangkan, ada orang Jawa yang lahir dan tua di Papua, tapi tetap dianggap pendatang.
“Jadi, kalau orang bilang politik identitas hanya agama, itu bias,” ujar Mu’ti.
“Politik identitas bisa dikurangi. Tapi, sekarang orang berbicara mengenai politik identitas, tapi yang selalu dituding adalah agama. Menurut saya itu bias. Politik identitas itu bisa berbasis suku, etnis, bahkan berbasis social origin,” kata Prof Mu’ti saat berbincang dengan LANGIT7.ID di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat, Tangerang Selatan, beberapa waktu lalu.
Bahkan, kata dia, bisa muncul fenomena putra daerah vis a vis pendatang. Kadang, orang yang disebut putra daerah jika berdarah leluhur suatu daerah, meski tidak pernah datang ke daerah tersebut masih disebut putra daerah.
Baca Juga: Rocky Gerung Sebut Islam Identitas Politik Kebangsaan
Dia mencontohkan, orang yang lahir di Jakarta dan besar di ibu kota tapi memiliki darah Papua, sehingga dianggap orang asli Papua. Sedangkan, ada orang Jawa yang lahir dan tua di Papua, tapi tetap dianggap pendatang.
“Jadi, kalau orang bilang politik identitas hanya agama, itu bias,” ujar Mu’ti.