Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Kamis, 02 Oktober 2025
home global news detail berita

Bias Politik Identitas di Indonesia, Selalu Dikaitkan pada Agama

Muhajirin Senin, 19 September 2022 - 11:35 WIB
Bias Politik Identitas di Indonesia, Selalu Dikaitkan pada Agama
ilustrasi (foto: langit7.id/istock)
LANGIT7.ID, Jakarta - Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed, menilai politik identitas tidak bisa dihilangkan dari negara demokrasi. Namun, hal yang menjadi masalah, politik identitas selalu hanya dikaitkan dengan agama saja.

“Politik identitas bisa dikurangi. Tapi, sekarang orang berbicara mengenai politik identitas, tapi yang selalu dituding adalah agama. Menurut saya itu bias. Politik identitas itu bisa berbasis suku, etnis, bahkan berbasis social origin,” kata Prof Mu’ti saat berbincang dengan LANGIT7.ID di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat, Tangerang Selatan, beberapa waktu lalu.

Bahkan, kata dia, bisa muncul fenomena putra daerah vis a vis pendatang. Kadang, orang yang disebut putra daerah jika berdarah leluhur suatu daerah, meski tidak pernah datang ke daerah tersebut masih disebut putra daerah.

Baca Juga: Rocky Gerung Sebut Islam Identitas Politik Kebangsaan

Dia mencontohkan, orang yang lahir di Jakarta dan besar di ibu kota tapi memiliki darah Papua, sehingga dianggap orang asli Papua. Sedangkan, ada orang Jawa yang lahir dan tua di Papua, tapi tetap dianggap pendatang.

“Jadi, kalau orang bilang politik identitas hanya agama, itu bias,” ujar Mu’ti.

Maka itu, hal penting yang harus dilakukan adalah membangun kesadaran kebangsaan. Politik identitas, kata Mu’ti, tidak mungkin dihapuskan. Tapi bisa diatasi dengan kesadaran kebangsaan.

Baca Juga: Sekum Muhammadiyah: Islamofobia Jadi Masalah Jika Dialami Elite

“Di negara paling demokratis sekalipun itu (politik identitas) masih terjadi kok,” kata Mu’ti.

Perbaikan Kualitas Parpol Cegah Politik Identitas

Menurut Abdul Mu'ti, salah satu solusi mencegah munculnya politik identitas adalah memperbaiki kualitas Partai politik. Partai politik harus menjadi bagian kekuatan masyarakat dalam membangun kebangsaan. Partai tidak boleh menjadi dinasti atau industri, seperti saat ini.

"Itu tidak sehat,” tuturnya.

Dengan membangun kesadaran kebangsaan, mekanisme pengambilan kebijakan tidak semata-mata ditentukan oleh ketua partai. Sebab saat ini, orang hanya loyal kepada individu, yakni ketua partai.

Baca Juga: Singgung Politik Identitas, Ridwan Kamil: Jangan Kasih Panggung

“Sehingga saya berpendapat, penentu Indonesia mungkin hanya 11-12 orang. 9 orang pimpinan partai yang punya kursi di DPR, ditambah presiden, Panglima TNI, Kapolri, sisanya ikut saja,” ujar Mu’ti.

Terlebih lagi jika partai politik dibentuk berdasarkan investasi personal. Itu akan membuat demokrasi semakin tidak sehat. Dia mencontohkan, tidak ada satupun orang yang mampu berseberangan dengan Prabowo Subianto.

“Di Nasdem berani berseberangan dengan Surya Paloh, atau di PDI-P berseberangan dengan Megawati? Tidak ada. Langsung out. Kalau partai seperti Golkar, masih mungkin, karena tidak berdasarkan investasi perorangan, tapi kolektif. Itu kan menjadi berbeda. Ini yang menurut saya harus diubah,” ungkap Mu’ti.

(jqf)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Kamis 02 Oktober 2025
Imsak
04:12
Shubuh
04:22
Dhuhur
11:46
Ashar
14:50
Maghrib
17:50
Isya
18:59
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Ikhlas:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ
Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa.
QS. Al-Ikhlas:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan