LANGIT7.ID, Jakarta - Sekretaris Umum PP Muhammadiyah,
Prof. Dr. Abdul Mu'ti, M.Ed, menilai
islamofobia eksis di Indonesia namun sebatas bersifat personal saja. Sementara tidak ada islamofobia yang terlembaga seperti di negara-negara minoritas muslim.
"Saya kira ada (
islamofobia), tetapi sifatnya mungkin personal, bukan institusional, misal organisasi tertentu, atau bahkan negara. Saya kira enggak lah, tidak mungkin negara ini islamofobia. institusi tertentu juga tidak ada. Secara kelembagaan tidak ada yang anti-Islam," kata Prof Mu'ti kepada LANGIT7.ID saat ditemui di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat, Tangerang Selatan, Rabu (14/9/2022).
Islamofobia secara personal bisa datang dari rakyat biasa dan bisa juga dari kalangan elite. hal yang menjadi masalah jika islamofobia itu datang dari kalangan elite, karena akan berimbas pada kebijakan-kebijakan yang diambil.
Baca Juga: Problematika Umat Islam Menurut Abdul Muti: Rendahnya Kualitas SDM hingga Segregasi
"Personal itu bisa rakyat biasa mungkin juga personal elite, yang problem itu kalau yang tidak suka Islam adalah elitee, sehingga kebijakan yang dia ambil ketika memimpin itu bias," ujar Mu'ti.
Stigma Islamofobia kepada Kelompok BerbedaMenurut Mu'ti, menolak adanya islamofobia tidak tepat namun juga ada pula pihak yang berlebihan dengan mengecap orang yang berbeda pendapat seolah terjangkit
islamofobia.
"Sekarang ada orang yang berlebih-lebihan, misal punya aspirasi, ingin mendirikan negara Islam, ada orang yang tidak setuju, dianggap yang tidak setuju ini islamofobia. Padahal, pilihan dia mendirikan negara Islam juga pilihan menjadi pandangan mayoritas, atau keseluruhan umat Islam," tutur Mu'ti.
Stigma islamofobia juga kerap dilekatkan ketika seorang tokoh agama terjerat kasus hukum. Menurut Mu’ti hal itu tidak bisa dibenarkan sebab etiap warga negara memiliki kesamaan kedudukan di depan hukum. Seorang tokoh agama yang melanggar hukum, maka akan tetap ditindak sesuai aturan yang berlaku.
Baca Juga: 2 Dekade Setelah 9/11, Muslim AS Masih Berjuang Lawan Islamofobia
"Tidak bisa juga misalkan seorang habib kemudian melakukan tindak pidana, dan kemudian dipidana sesuai hukum berlaku, dan dianggap itu
islamofobia, itu tidak bisa," ujar Mu'ti.
Dalam bahasa undang-undang penegakan hukum, kata yang digunakan adalah 'barangsiapa'. Artinya, kata Mu’ti, siapa saja yang melanggar hukum maka akan mendapatkan hukuman seperti yang tertera dalam undang-undang.
"Makanya bahasanya di dalam undang-undang itu kan barangsiapa. Artinya, berlaku kepada siapa saja. Cuma yang sering terjadi kan siapa yang punya barang. tapi secara konstitusional kita sudah punya dasar untuk menegakkan hukum yang seadil-adilnya bagi seluruh warga negara itu," ujar Mu'ti.
(jqf)