LANGIT7.ID - Mayoritas umat Islam di Indonesia menggelar halal bi halal sejak awal sampai akhir Syawal. Acara itu dilakukan berbagai kelompok masyarakat, organisasi, lembaga, instansi pemerintah, hingga instansi swasta.
Prof Muhammad Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1999) menjelaskan sejumlah aspek filosofis dari Halal bi Halal.
1. Tinjauan Qur'ani Halal yang dituntut adalah halal yang
thayyib, yang baik lagi menyenangkan. Dengan kata lain, Al-Qur'an menuntut agar setiap aktivitas setiap muslim adalah sesuatu yang baik dan menyenangkan bagi semua pihak.
Itu yang menyebabkan Al-Qur'an tidak hanya menuntut seseorang memaafkan orang lain, tapi juga berbuat baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan kepada kita.
Baca Juga: Halal Bihalal, Dipopulerkan Pendiri NU Pasca Selisih Politik Awal Kemerdekaan
2. Aspek Hukum Fikih Halal merupakan kebalikan dari kata haram. Jika diucapkan dalam konteks halal bi halal memberikan kesan orang yang melaksanakan tradisi itu akan terbebas dari dosa.
Dengan begitu, halal bi halal dalam tinjauan hukum fikih menjadikan sikap yang tadinya haram menjadi halal. Ini tentu akan tercapai jika persyaratan lain diterapkan seperti lapang dada saling memaaf-maafkan.
Menurut para fuqaha, istilah halal mencakup pula apa yang dinamakan makruh. Di sini muncul pertanyaan, apakah yang dimaksud istilah halal bi halal adalah adanya hubungan yang halal, walaupun di dalamnya terdapat sesuatu yang makruh?.
Secara terminologis, kata makruh berarti sesuatu yang tidak diinginkan. Dalam bahasa hukum fikih, makruh adalah suatu perbuatan yang tidak dianjurkan oleh agama. Meski jika dilakukan tidak mengakibatkan dosa, tapi bila meninggalkan makruh makan akan mendapatkan ganjaran pahala.
Atas dasar tersebut, Quraish Shihab tidak cenderung memahami kata halal dalam istilah halal bi halal dengan pengertian atau tinjauan hukum. Sebab, pengertian hukum tidak mendukung terciptanya hubungan harmonis antar sesama.
3. Tinjauan Bahasa atau Linguistik Kata halal dari segi bahasa diambil dari kata halla atau halala yang memiliki berbagai bentuk dan makna sesuai rangkaian kalimatnya. Makna-makna itu antara lain menyelesaikan problem atau kesulitan, meluruskan benang kusut, mencairkan yang membeku, atau melepaskan ikatan yang terbelenggu.
Baca Juga: Tradisi Halal Bihalal dalam Pandangan Ustaz Abdul Somad
Maka jika halal bi halal dipahami dari aspek bahasa, seseorang akan memahami tujuan menyambung apa-apa yang tadinya putus menjadi tersambung kembali.
Hal itu dimungkinkan jika pelaku menginginkan halal bi halal sebagai instrumen silaturahmi untuk saling maaf-memaafkan, sehingga seseorang menemukan hakikat Idul Fitri.
Dari 3 aspek tersebut, halal bi halal menuntut seseorang menyambung hubungan yang putus, mewujudkan keharmonisan dari sebuah konflik dan berbuat baik secara berkelanjutan.
(jqf)