LANGIT7.ID, Jakarta - Istilah dan tradisi Halal bi halal dipopulerkan KH Abdul Wahab Chasbullah, salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Istilah dicetuskan untuk mendamaikan para elite politik yang kerap berselisih paham pasca kemerdekaan 1945 silam.
Istilah itu untuk menghalalkan sikap manusia yang kerap berselisih pendapat dan sulit menerima perbedaan pendapat. Dari situ, konteks sejati silaturahmi adalah ikhtiar kebersamaan dan persatuan.
سيلاتوراهميتَزِيْدُ فِي الْعُمْرِ وَصَدَقَةُ السِّرِّ تُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِ (رواه القضاعي عن ابن مسعود)
"Silaturahmi itu menambah umur, dan sedekah itu memadamkan murka Tuhan." (HR Qudha'i dari Ibnu Mas'ud, kitab Al-Jami'us Shaghier).
Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, Lia Istihama, mengatakan, momentum halal bihalal merupakan momentum penguatan ikatan persaudaraan. Ini sangat penting, sebab membangun persaudaraan merupakan semangat penguatan ukhuwah Islamiyah.
Baca Juga: Tradisi Sungkeman Idul Fitri, Bentuk Bakti Anak pada Orang Tua
"Konsep dasar sikap Ukhuwah Islamiyah adalah internalisasi diri bahwa seorang mukmin bagaikan satu tubuh," kata Lia, dikutip laman resmi MUI, Ahad (1/5/2022).
Hal tersebut sejalan dengan sabda Rasulullah SAW, "Kamu melihat orang-orang mukmin dalam kasih sayang, cintai-mencintai dan belas kasih mereka seperti tubuh. Apabila tubuh itu mengaduh karena salah satu anggota badan (sakit), maka seluruh tubuh itu memanggilnya dengan jaga dan demam." (HR Bukhari).
Dengan begitu, jika sesama muslim menyadari konsep ukhuwah islamiyah itu, maka hubungan sosial pun terjalin kuat. Terlebih jika ikatan tersebut diperkuat dengan momentum silaturahmi saat Syawal tiba.
"Dengan silaturahmi, maka Insya Allah kita pun sedang membangun potret kebahagiaan diri. Karena silaturahmi adalah suasana yang menyenangkan satu sama lain, suasana keakraban yang menjadi pelebur segala perbedaan," ucap Lia.
(jqf)