LANGIT7.ID - Rektor Universitas Darussalam Gontor, Prof. Dr. KH. Hamid Fahmi Zarkasyi putra dari Pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor KH Imam Zarkasyi, menjelaskan perbedaan substansial pondok modern dengan pesantren tradisional atau salafiyah dan madrasah.
Menurutnya, Pondok Modern hadir menjawab tantangan zaman dengan melengkapi sistem pendidikan di pesantren tradisional dan madrasah.
Prof Hamid menjelaskan, pondok pesantren tradisional adalah sebuah lembaga pendidikan yang memiliki lima unsur utama yaitu kiai, santri, masjid, asrama dan pengajaran, serta kitab-kitab klasik (kitab kuning). Definisi ini diungkapkan Zamakhsyari Dhofier dalam buku Tradisi Pesantren.
Sementara, KH Imam Zarkasyi, salah satu pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor, mendefinisikan pondok modern yakni lembaga pendidikan agama Islam dengan sistem asrama atau pondok, kiai (ulama) sebagai figur utama, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, pengajaran agama Islam oleh kiai diikuti santri sebagai kegiatan utamanya.
“Jadi pengajaran agama Islam tidak hanya terfokus pada kitab kuning saja. Tidak hanya fikih, tidak hanya syariah, akidah akhlak saja. Agama Islam juga berbicara sejarah, berbicara sains, dan teknologi. Maka, pengajaran agama islam dalam pondok modern berbeda dengan kitab kuning dalam pesantren salafiyah,” jelas Prof Hamid dalam webinar yang disiarkan melalui akun Youtube Darunnajah Business School, dikutip Senin (2/8/2021).
Sehingga, kata dia, sistem pondok modern adalah sistem yang mengintegrasikan pengetahuan agama dan pengetahuan sains serta humaniora. Definisi lainnya adalah pondok pesantren tradisional yang diintegrasikan dengan madrasah. Madrasah mengandung makna tempat pendidikan yang diatur sebagai sekolah dan membuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama islam, menjadi pokok pengajaran.
“Pondok modern tidak meninggalkan sistem pesantren (salafiyah), karena ia memiliki banyak kelebihan. Di antaranya memiliki tradisi pengajian Islam, Kiai sebagai pimpinan tertinggi, institusi penanaman akhlak dan nilai-nilai Islam, berdikari dan bebas dari campur tangan orang luar, dan sebagai benteng pertahanan umat Islam,” papar Prof Hamid.
Menurut Prof Hamid, sistem pondok modern lebih cocok digunakan di tengah perkembangan zaman saat ini. Ini karena pesantren salafiyah memiliki kekurangan pada metode pengajaran yang tidak efektif dan tidak efisien, karena tidak memiliki jenjang kelas, kurikulum terbatas ilmu-ilmu agama saja, dan sistem pendidikan tidak didesain seperti formal, informal, dan nonformal.
Selain itu, tidak ada pula suksesi kepemimpinan diluar keluarga, karena pesantren itu milik pribadi Kiai. Saat putra atau menantu tak bisa lagi menjadi penerus, maka saat itu potensi pesantren berhenti terbuka lebar. Berbeda dengan pondok modern yang menggunakan sistem wakaf.
Menurut Prof Hamid, pesantren salafiyah mayoritas tidak terstruktur secara manajerial dan aspek keberlanjutannya kurang. Dari sini, problem yang paling utama dalam pesantren tradisional adalah manajemen finansial yang cenderung tidak terorganisir dengan baik.
Pada awal abad ke-20, madrasah menjadi satu alternatif sistem modern karena mempunyai sistem pengajaran klasikal. Di madrasah pula diperkenalkan ilmu pengetahuan umum. Ada sistem evaluasi atau ujian. Ada pula jenjang waktu belajar.
“Tokoh-tokoh nasional lahir dari system ini. Muhammad Hatta, Malik. Tokoh nasional itu alumni madrasah,” kata Prof Hamid.
Namun masalahnya, madrasah juga tidak holistik karena hanya di dalam kelas. Waktu belajar di sekolah tidak maksimal, karena tidak berasrama. Pendidikan dan pengajaran agama tidak maksimal. Pengajaran Bahasa Arab kurang. Jadi hanya seperti sekolah umum namun diberi pelajaran agama.
“Dari situ, sistem Pendidikan Islam yang paling efektif adalah sistem madrasah yang diasramakan (pondok modern). Ini definisi yang dibuat Prof. Abdul Mukti, mantan Menteri agama Indonesia,” kata Prof Hamid.
Dari tahun ke tahun, pesantren mengalami perkembangan sangat pesat. Pada 1977 jumlah pesantren di Indonesia baru sekitar 4.195 dengan jumlah santri 677.394. Pada 1983 ada 6.239 pesantren dengan jumlah santri mencapai 1.084.801. pada 1997 ada 9.388 pesantren dengan 1.770.768 santri. 2001 ada 11.312 dengan jumlah santri sebanyak 2.737.805. Pada 2005 ada 14.789 pesantren dengan jumlah santri 3.464.334. Pada 2005 terdapat 28.194 pesantren dengan jumlah santri 4.290.629.
“Sementara jumlah pesantren tahun 2020 se-Indonesia sebanyak 26.973 ada pula yang menyebut 28.194 dengan jumlah santri sebanyak 18 juta orang. Pondok pesantren salafiyyah sebanyak 13.446 (49,4 persen). Modern 3.064 atau 11 ,3 persen, dan campuran 10.789 atau 39,3 persen,” pungkas Prof Hamid.
(jqf)