LANGIT7.ID, Jakarta - Pakar Filsafat Islam dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
Dr Fahruddin Faiz, mempresentasikan pemikiran KH Ahmad Dahlan sebagai seorang pembaharu. Pemikiran itu didapatkan KH Ahmad Dahlan setelah berinteraksi dengan tokoh-tokoh pembaharu Timur Tengah ketika belajar di Mekkah saat berusia 15 tahun.
Lima tahun belajar di Tanah Suci,
KH Ahmad Dahlan banyak bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran pembaharu, seperti Rasyid Ridha, Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh, dan AlAfghani. Pada 1903, dia kembali lagi ke Mekkah dan berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.
"KH Dahlan belajar di Mekkah bertemu dengan ajaran-ajaran pembaharu dari Muh. Abduh, Jalaluddin Al-Ghani, dan Syekh Rasyid Ridha. Dari sini beliau mengerti bahwa umat Islam, khususnya Indonesia, perlu bangkit," kata Fahruddin dikutip dari kanal MJS Channel, Jumat (18/11/2022).
Baca Juga: Syekh Tahir Jalaluddin, Ulama Ahli Astronomi dari Minangkabau yang MenduniaSaat kembali ke Tanah Air, lanjut Fahruddin, KH Dahlan melihat ada kekeliruan dari umat Islam di Indonesia, terutama dari sisi teologi. Gagasan pembaharuan itu memang mendapat banyak resisten, karena pada zaman itu umat Islam masih hidup dengan gaya konservatif.
Kekeliruan paling menonjol adalah adanya teologi pasrah di kalangan umat Islam. Fahruddin mengistilahkan teologi parah itu dengan fatalistik. Kala itu, banyak umat Islam cenderung pasrah dijajah Belanda karena berfikir sebagai takdir yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT.
"Teologi yang pasrah ini, yang menyerah dengan dunia nyata, akhirnya umat Islam sering menyelesaikan masalah tidak dihadapi di dunia nyata tapi, dihadapi secara supranatural. Jadi, kalau ada apa-apa, ada masalah, solusinya dicari melalui jalur supranatural," ujar Fahruddin.
Belanda menjajah dengan segudang kecanggihan, namun penjajahan itu dihadapi dengan langkah-langkah supranatural. Fahruddin mencontohkan, orang Belanda saat sakit datang ke dokter untuk berobat. Sementara, pribumi datang ke dukun untuk mengusir kekuatan-kekuatan supranatural itu.
"Itu nanti yang dikritik yang terkenal dengan istilah tahayyul, Bid’ah, khurafat. Jadi, dari sikap mental yang fatalistik ini karena dunia sudah tidak bisa dihadapi secara konkret, larinya ke supranatural. Ini yang dikritik oleh KH Dahlan," ucap Fahruddin.
Fahruddin menuturkan bahwa KH Dahlan menilai umat Islam tidak bisa bangkit jika bermental teologi pasrah atau fatalistik. Perilaku semacam ini yang menggelisahkan KH Dahlan. Dia ingin menghilangkan mental teologi pasrah itu untuk menghadapi penjajah Belanda dengan cara berkelas.
Upaya KH Ahmad Dahlan Merobohkan Teologi PasrahKH Dahlan menilai salah satu penyebab umat Islam masih menganut teologi pasrah karena kurang pendidikan. Hal itu menyebabkan seseorang pasrah pada kenyataan dan lari ke supranatural untuk mencari solusi.
Padahal, Al-Qur’an dengan tegas menyebut salah satu tugas manusia di muka bumi adalah khalifah, yang berarti menguasai alam semesta. Maka itu, kata Fahruddin, ada teori tashir yang menyebutkan, manusia harus menguasai dan memahami alam semesta. Jika tidak demikian, maka manusia itu akan kalah.
"Misalnya, ketika tidak mengerti tentang laut, maka dianggap laut ada dewanya, sehingga dikasih sesajen. Cara berfikir semacam ini berawal dari kurangnya ilmu. Kalau orang ngerti ilmunya, jangankan laut, udara pun bisa ditaklukkan dengan pesawat," lanjut Fahruddin menerangkan.
Berkaca dari hal itu, KH Dahlan bertekad meningkatkan pendidikan masyarakat Indonesia sebagai kunci perjuangan. Perjuangan itu memang tidak mudah lantaran situasi masyarakat berteologi pasrah ada pihak-pihak yang diuntungkan. Saat situasi berubah, kedudukan mereka yang nyaman itu bisa jadi terancam.
"Makanya, ada cerita tentang suraunya KH Dahlan dirobohkan, bagaimana beliau ditentang banyak orang, ketika beliau menunjukkan arah kiblat yang benar, saat menggunakan ilmu hisab. Jadi resistennya banyak," sambung Fahruddin.
Baca Juga: Syekh Ibrahim Musa Parabek, Ulama Pembaharu dan Pejuang dari MinangkabauMeningkatkan Pendidikan Kunci PerjuanganPada masa penjajahan, ada asumsi menyebar di tengah masyarakat yang harus dipahami secara cerdas. Mayoritas masyarakat menentang penjajahan Belanda, sehingga menganggap semua yang berkaitan dengan Belanda pasti jelek atau buruk.
KH Dahlan lalu mengingatkan, ada bagian-bagian tertentu yang bisa diadopsi dari Belanda. Jika semua hal berbau Belanda ditolak, maka ada hal-hal penting yang tidak bisa diambil manfaatnya. KH Dahlan melihat sistem pendidikan Belanda bisa diadopsi untuk kalangan pribumi.
"Jadi, model persekolahan yang kita sebut model klasikal menurut cermatannya lebih efektif untuk melahirkan ilmuwan, dibandingkan model tradisional yang ada saat itu, seperti di pesantren-pesantren. Jadi, kalau semua yang berbau Belanda disebut kafir dan terima itu tanpa filter yang jelas, nanti banyak hal penting dan bagus terlewat," ucap Fahruddin.
KH Dahlan memilih berjuang dengan mengadopsi metode sekolah dari Belanda. Menurut cermatan KH Dahlan, sistem sekolah itu lebih cepat dan efektif melahirkan orang-orang pintar. Maka dari itu, KH Dahlan membuka sekolahan di rumahnya.
"Swalnya beliau buka untuk keluarga, kemudian tetangga-tetangganya. Kemudian dari sekolah itu nanti lahir banyak tokoh, dan melahirkan organisasi yang kita kenal Muhammadiyah," sambung Fahruddin lagi.
Awal Mula Berdiri MuhammadiyahFahruddin menceritakan, Muhammadiyah lahir dari dialog antara KH Dahlan dengan salah satu muridnya. Suatu ketika ada seorang siswa yang tanya kepada beliau, ‘Kiai, apakah di sini tempatnya sekolah? Sekolah model apa sih ini?’
"Ini namanya ibtidaiyah Islam, untuk memberi pelajaran agama Islam untuk anak-anak kampung Kauman," jawab KH Dahlan.
"Siapa gurunya Kiai?". "Gurunya yo saya,"
"Sekolah ini dipegang oleh Kiai sendiri, sehingga jika Kiai meninggal dunia dan ahli warisnya tidak mampu meneruskan, maka sekolah ini akan berhenti. Saya usul hendaknya sekolah ini dipegang oleh satu organisasi, sehingga dapat hidup selamanya," kata siswa itu.
Berangkat dari situ, KH Ahmad Dahlan bertanya, "kira-kira organisasi seperti apa?"
"Organisasi yang disusun sebagai badan yang sah sesuai izin pemerintah saat itu, Hindia-Belanda. Misalnya, seperti perkumpulan Budi Utomo, yang sekarang berdiri di Yogyakarta," jawab siswa itu.
Dari percakapan itu muncul ide mendirikan organisasi. Proposal dibuat lalu meminta izin ke pemerintah Hindia-Belanda saat itu. Meskipun izin tidak turun sekitar dua tahun.
"Karena Belanda juga takut ini nanti pengaruhnya besar, karena melihat bagaimana sosok Kia Dahlan yang dikenal di kalangan aktivis pergerakan, termasuk Budi Utomo," tutur Fahruddin.
Baca Juga:
Muhammad bin Chakroun, Penerjemah Qur’an dan Tafsir Pertama ke Bahasa Prancis
Ilmuwan Muslim Farouk El Baz, Otak di Balik Kesuksesan Misi Apollo(gar)