LANGIT7.ID–Jakarta; Cendekiawan Muslim dan Profesor Filsafat Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Indonesia Prof. Dr. H. Muhammad Amin Abdullah, M.A., menegaskan bahwa dunia saat ini tidak hanya menghadapi satu krisis, melainkan multi-krisis yang melanda berbagai bidang — teologi, sosial, ekonomi, geopolitik, hingga budaya. Menurutnya, akar dari semua permasalahan itu terletak pada sistem pendidikan, khususnya pendidikan agama yang belum menyentuh aspek praktik kehidupan sosial.
“Umat manusia hari ini tidak hanya sedang mengalami satu krisis, tetapi berbagai krisis sekaligus, krisis teologis, sosial, ekonomi, geopolitik, dan juga kultural. Jadi, kita sedang menghadapi banyak krisis di depan mata,” ujar Prof. Amin Abdullah di
World Peace Forum ke-9, Grand Sahid Jaya, Jakarta, yang dihadiri tokoh lintas agama dan akademisi dunia, dikutip Rabu (12/11/2025)
Ia menilai, selama ini perdamaian lebih sering dijadikan slogan ketimbang gerakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, kata dia, perdamaian sejati tidak akan terwujud tanpa perubahan mendasar di sektor pendidikan.
Baca juga: Pramono Anung: Wasatiyyat Islam dan Budaya Tionghoa Mengajarkan Kedamaian dan Keseimbangan“Jadi, apa sebenarnya yang kita maksud dengan perdamaian? Salam memang menjadi sapaan semua agama, ‘Peace be upon you’. Itu baik, tapi itu seperti doa. Dalam kenyataannya, masih banyak sekali masalah di dunia ini,” tegasnya.
Guru besar UIN Sunan Kalijaga tersebut menekankan bahwa sistem pendidikan dunia harus direkonstruksi agar mampu menghadirkan nilai-nilai perdamaian dalam praktik sosial, bukan hanya dalam wacana.
“Kita harus merekonstruksi sistem pendidikan kita. Bukan hanya dengan slogan besar, tapi bagaimana rekomendasi dan resolusi yang dibuat benar-benar diterapkan dalam kehidupan sosial dan pendidikan,” ujarnya.
Baca juga: Asia Jadi Pusat Perdamaian Dunia, Din Syamsuddin Siapkan World Peace Forum di Timor LesteDalam pandangannya, ada tiga kompetensi utama yang harus dimiliki para pendidik dan peserta didik untuk membangun peradaban damai di tengah krisis multidimensi.
“Yang pertama adalah kompetensi personal. Yang kedua, kompetensi komparatif. Dan yang ketiga, kompetensi kolaboratif,” ucapnya.
Ia menjelaskan, kompetensi personal berarti memahami agama secara utuh dan tidak selektif.
Baca juga: Menag Nasaruddin Umar: Wasatiyyat Islam Jadi Kunci Hadapi Dehumanisasi Era Digital“Seseorang harus memahami agamanya secara holistik, bukan hanya membaca Al-Qur’an, Injil, atau kitab lainnya secara sepotong-sepotong. Tapi harus melihat keseluruhan dari religiusitasnya,” katanya.
Sementara kompetensi komparatif, lanjutnya, menuntut adanya perspektif lintas agama dan budaya dalam dunia pendidikan.
“Karena dunia kita hari ini bersifat multikultural dan multiagama, maka kompetensi komparatif harus menjadi prioritas tinggi,” jelas Amin Abdullah.
Baca juga: Menag Nasaruddin Umar: Nilai Wasatiyyat Islam Sudah Menjadi Jantung dari Makna IslamTerakhir, ia menyoroti pentingnya kompetensi kolaboratif dalam membangun hubungan sosial antarumat beragama. Menurutnya, keberagaman hanya akan bermakna bila diiringi kemampuan saling mengenal dan bekerja sama.
“Kita memang memiliki keberagaman, tapi dalam Al-Qur’an disebutkan ‘lit’aarafu’ untuk saling mengenal. Jika kita bisa hidup berdampingan tetapi tidak saling mengenal, maka kita gagal mencapai perdamaian,” pungkasnya.
(lam)