LANGIT7.ID, Jakarta - 22 Desember menjadi peringatan Hari Ibu yang digelar sejak 63 tahun lalu melalui Dekrit Presiden No.316/1959 yang diteken Presiden Sukarno. Tetapi,
Hari Ibu di Indonesia berbeda dengan
Mother’s Day versi orang-orang Barat.
Peneliti Museum Ullen Sentalu Yogyakarta, Restu Rahayu Ningsih, mengatakan, Hari Ibu dewasa ini diperingati dengan memberikan hadiah kepada sosok ibu. Ada pula memanfaatkan momen ini untuk menjalankan program kehumasan maupun pemasaran.
“Hal semacam ini untuk masa sekarang bahkan sudah begitu sering dijadikan bahan konten untuk unggahan di media sosial,” kata Restu di laman resmi Museum Ullen Sentalu, Kamis (22/12/2022).
Perayaan seperti itu memang tidak salah. Tetapi, gaya perayaan Hari Ibu di Indonesia akhir-akhir ini condong meniru perayaan
Mother’s Day ala Amerika Serikat sejak abad ke-20 tak sepenuhnya tepat.
Baca Juga: Peringati Hari Ibu, Wapres: Perempuan Kunci Peradaban Bangsa
Hari Ibu versi Indonesia memiliki makna yang lebih mendalam. Itu bisa dilihat dalam dekrit yang diteken Presiden Soekarno. Penetapan itu antara lain dimaksudkan untuk memperingati pelaksanaan Kongres Perempuan I pada 1928.
Ibu dalam konteks Indonesia bukan hanya disematkan kepada wanita yang melahirkan anak. Contoh dalam kaidah tata bahasa Jawa kata ‘ibu’ bisa digunakan untuk menyebut orang yang dituakan atau dihormati.
“Oleh karena itu, peringatan Hari Ibu di Indonesia bukanlah perayaan
Mother’s Day yang dikenal orang-orang Barat,” kata Restu.
Pada 22 Desember 1953, atau lima tahun sebelum Bung Karno menetapkan Hari Ibu, organisasi-organisasi perempuan di Indonesia saat itu menghelat perayaan meriah 25 tahun Kongres Perempuan I.
Kongres Perempuan I yang menjadi cikal bakal Hari Ibu digelar pada 22-25 Desember 1928 di Ndalem Joyodipuran, Yogyakarta. Kongres itu dihadiri lebih dari 100 perempuan yang berasal dari organisasi-organisasi perempuan di Tanah Air. Mereka membahas berbagai isu yang berkaitan dengan perempuan.
Baca Juga: Dalil-dalil Alquran yang Sebut Ibu Wajib Dimuliakan
Dalam buku Sejarah Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Akhir Hindia Belanda (2009) oleh Marwati Djoened dan Nugroho, Kongres Perempuan Indonesia diprakarsai oleh tujuh organisasi wanita.
Tujuh organisasi tersebut adalah Wanita Taman Siswa, Wanita Utomo, Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling, Jong Java Dames Afdeeling, Wanita Katolik, Aisyiyah, dan Putri Indonesia.
Enam Butir KesepakatanKongres Perempuan I merumuskan enam keputusan penting. Butir-butir kesepakatan itu mewakili keinginan kaum perempuan pada masa itu. poin tersebut di antaranya:
1. Melawan Tradisi yang Memunggungi PerempuanPertama, “Kami sepakat membina Perikatan Perempuan Indonesia”. Jika dilihat dalam konteks 1928, anggapan “Tempat Perempuan ya di belakang”. Anggapan tersebut masih kental, sehingga posisi perempuan dipandang sebelah mata dan dinilai tidak perlu berserikat, berkumpul, berkongres, berdiskusi, dan sebagainya.
“Oleh karena itu, butir pertama itu sebenarnya bentuk melawan stereotip dan tradisi yang memunggungi perempuan,” ungkap Restu.
2. Menggalang Beasiswa untuk Perempuan“Menggalang beasiswa untuk perempuan”. Hal ini dilatarbelakangi kondisi anak perempuan pada 1928 yang jarang didahulukan dalam urusan sekolah. Hingga 1915, dari 261.055 murid sekolah desa di Jawa dan Madura, siswa perempuan hanya ada 7,67%. Bahkan, sampai 1928, rasionya tidak banyak berubah.
“Oleh karena itu, dengan adanya beasiswa diharapkan akan menambah jumlah anak-anak perempuan terpelajar,” tutur Restu.
3. Memperkuat Pandu Putri“Memperkuat pandu putri”. Gerakan pandu dalam konteks 1928 identik dengan semangat kebangsaan. Perempuan juga memiliki hak terlibat dalam pergerakan itu. Mereka berprinsip “Apapun pakaian kami (perempuan) itu bukanlah hambatan”.
Baca Juga: Peran Perempuan dalam Islam, Ustadzah Aisah: Banyak dan Multi Peran
Hal itu menunjukkan kaum perempuan kala itu memiliki kesadaran akan keberagaman Indonesia serta pentingnya persatuan untuk memperjuangkan posisi dan hak perempuan. Ini yang menjadi latar belakang lahirnya federasi Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI).
4. Mencegah Perkawinan Anak“Mencegah perkawinan anak”. Dalam konteks 1928, lazim terjadi perkawinan pada usia anak-anak (0-17 tahun). Itu dinilai merugikan anak atau secara umum merugikan perempuan dan calon anaknya.
5. Mosi Perlindungan Perempuan“Mosi pada pemerintah soal perlindungan perempuan, janda, dan yatim, serta ketersediaan sekolah perempuan”. Menurut Restu, penggunaan istilah ‘janda’ di sini dimunculkan sebagai antitesis atas stigma negatif masyarakat kepada janda.
6. Mosi Administrasi Pernikahan“Mosi ke majelis agama agar taklik (janji nikah, berikut syarat cerai) dikuatkan dengan surat”. Dalam konteks 1928, posisi perempuan dalam pernikahan dinilai lemah, karena hanya bisa menerima.
Restu menjelaskan, keenam kesepakatan itu menegaskan, Kongres Perempuan Indonesia terkait dengan perjuangan kaum perempuan untuk memperbaiki nasib mereka. Kongres itu juga memperkuat posisi perempuan dalam perjuangan kemerdekaan.
“Oleh karena itu, peringatan Hari Ibu seharusnya menjadi momentum bagi perempuan Indonesia untuk melanjutkan eksistensi mereka bagi pembangunan bangsa," kata Restu.
(jqf)