LANGIT7.ID-, Jakarta- - Pada abad pertengahan,
peradaban Islam menjadi pioner dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Bukan hanya menguasai diskursus hukum dan ilmu sosial, umat Islam juga piawai dalam sains dan teknologi.
Ketua PP Muhammadiyah, Syamsul Anwar, menilai, saat ini gairah pengembangan ilmu pengetahuan perlahan-lahan mulai meredup. Banyak faktor penyebab kemunduran tersebut yang bersifat kompleks.
Penyebab pertama, kemerosotan peradaban Islam dan kemunduran upaya pengembangan ilmu karena banyaknya pergerakan-pergerakan militer. Pergerakan militer itu meruntuhkan infrastruktur peradaban dan memusnahkan pusat-pusat riset. Pun menghilangkan peluang pengembangan iptek yang memerlukan kestabilan kondisi.
Invasi Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan yang menghancurkan Baghdad, ibukota keagamaan dan peradaban Islam pada 1258 sangat berpengaruh terhadap kemunduran keilmuan di dunia Islam.
Baca juga:
Survei ASI: Ali Masykur Musa Cawapres Potensial dari Tokoh NU JatimBegitu pula penaklukan Kerajaan Islam Granada pada 1492 melalui program reconquista di bawah Ferdinand II dan Isabella. Itu secara lambat laun mengakhiri dominasi peradaban keilmuan umat Islam sampai sekarang.
Selain invasi militer, Syamsul mengatakan, ketertinggalan Islam dalam bidang diskursus keilmuan merupakan konsekuensi dari kecelakaan sejarah di masa lampau. Madrasah Nizhamiyyah yang diprakarsai Dinasti Bani Saljuk dalam kebijakan kurikulumnya hanya mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan, tidak mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan eksakta dan kealaman.
“Hal ini lambat laun memberi pengaruh kepada merosotnya pengembangan iptek di dunia Muslim zaman tengah. Bahkan dalam konteks ini, filsafat yang belum dipisahkan dengan ilmu diharamkan oleh para ulama sebagaimana dicatat oleh Ibn Khaldun,” tutur Syamsul dalam Seminar Integrasi Keilmuan dalam Hisab, Rukyat, dan Kalender Global Unikatif di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dikutip Selasa (6/6/2023).
Menurut Syamsul, dalam rangka memperpendek jarak ketertinggalan pengembangan iptek, maka umat Islam perlu kembali kepada sumber pokok ajaran Islam yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Hal itu guna menghayati dan menanamkan kembali dorongan kuat dari kedua sumber ajaran itu tentang pentingnya sains dan teknologi. Dalam hadis disebutka, menuntut dan mengembangkan ilmu adalah suatu jihad di jalan Allah.
“Barang siapa yang keluar untuk mencari ilmu, maka dia berada di jalan Allah sampai ia Kembali.” (HR at-Tirmidzi).
Selain itu, perlu juga paradigma integratif yang menyatukan agama dan ilmu pengetahuan dalam mengejar ketertinggalan pengembangan diskursus keilmuan. Dalam sejarah peradaban Islam pola pengembangan ilmu yang integratif ini telah menjadi pilihan.
“Pengembangan ilmu tetap berada dalam koridor yang tidak bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam. Tentu terdapat dinamika pikiran, diskusi, perdebatan, dan bahkan mungkin pertarungan pendapat mengenai bagaimana integrasi ilmu itu dilakukan,” tutur Syamsul.
Baca juga:
Alasan Pesawat Terbang Dilarang Melintas KakbahSyamsul menyebut tokoh integratif seperti Ibnu Rusyd. Menurutnya, filosof Islam yang di Eropa Zaman Tengah dikenal dengan sebutan Averroes ini pada tahun 1179-1180 menulis buku berjudul Fa?l al-Maq?l wa Taqr?r m? bayna asy-Syar??ah wa al-?ikmah min al-Itti??l. Buku ini menjelaskan tentang keterhubungan antara agama dan filsafat.
Selain Ibnu Rusyd, Syamsul juga menyebut bahwa Al-Ghazali adalah figur integratif, walaupun beberapa aspek pemikirannya kontroversial. Hujjatul Islam mengintegrasikan sistem pengetahuan bayani dan sistem irfani dalam bukunya I?y?’ ‘Ul?mdd?n dan salah satu karyanya ia menegaskan bahwa syarak dan akal tidak dapat dipisahkan, keduanya saling melengkapi. Kedua tokoh ini yang kerap diperbandingkan ini dapat menjadi referensi historis cara pandang integratif.
“Ini berarti, seperti ditegaskan oleh Francis S. Collins di zaman modern, bahwa iman kepada Tuhan secara keseluruhan dapat menjadi pilihan yang rasional, dan bahwa prinsip-prinsip keimanan sesungguhnya saling melengkapi dengan prinsip-prinsip sains,” ungkap Syamsul.

(ori)