LANGIT7.ID-, Surabaya- - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump kembali menjadi sorotan dunia setelah menerapkan tarif impor pada sejumlah negara termasuk Indonesia yang memperoleh 32%.
Pakar ekonomi internasional Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair) Prof Rossanto Dwi Handoyo SE MSi PhD, menyebut, Amerika merasa dalam perdagangan dengan negara lain belum adil, produk amerika yang diekspor ke negara lain memiliki tarif tinggi. Hal ini menyebabkan neraca perdagangan Amerika dengan negara lain mengalami defisit setiap tahun.
“Sebagai contoh, Indonesia tahun lalu surplus hingga 31 miliar dolar dengan separuh keuntungannya berasal dari Amerika. Hal ini tidak sebanding dengan surplus Amerika yang harus membayar tarif impor yang tinggi, sehingga kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan keuntungan Amerika dan pembelian produk domestik,” ungkapnya.
Dengan kebijakan ini, Prof Rossanto menyebut harga barang impor dari Indonesia di Amerika akan semakin naik. Kenaikan harga ini dapat menurunkan daya saing produk Indonesia di pasar Amerika yang menyebabkan turunnya neraca perdagangan dan surplus Indonesia.
Baca juga:
Dampak Tarif Resiprokal Trump, DPR Desak Kebijakan Impor Nasional Dievaluasi“Tanpa upaya yang jelas, maka surplus akan berkurang dan neraca perdagangan indonesia akan mengalami defisit serta pertumbuhan ekonomi menurun. Dengan fakta prediksi pertumbuhan ekonomi yang hanya 4,9 persen, maka GDP akan turun karena Amerika merupakan salah satu negara tujuan utama ekspor Indonesia,” ungkapnya.
Prof Rossanto juga menyebut penurunan daya saing produk Indonesia di Amerika dapat menyebabkan risiko tutupnya industri yang bergerak dalam produksi komoditas ekspor, meningkatkan pengangguran serta investasi di beberapa sektor ekspor ke Amerika akan turun. Apabila tidak ditangani dengan baik maka dampak ekonomi yang ditimbulkan akan semakin besar.
“Polemik yang dibarengi dengan penurunan rupiah dan IHSG ini menunjukkan bahwa dimana semua negara mengalami pembalikan keadaan oleh Amerika yang sekarang berusaha melindungi industri domestik dari luar. Ditambah dengan inflasi yang tinggi di semua negara dan rupiah yang hampir menyentuh angka psikologis pasar menyebabkan investor memiliki keraguan dalam melakukan investasi di Indonesia,” ungkapnya.
Menanggapi masalah ini, Rossanto menyebut jalur negosiasi adalah solusi terbaik mengingat Amerika adalah mitra dagang penting. Hal ini didasari dengan fakta bahwa bukan hanya ekspor Indonesia yang tinggi ke Amerika, namun juga dalam hal impor masih memerlukan Amerika di berbagai sektor seperti jasa, sektor keuangan, kedelai impor.
“Kita harus melihat proporsional bahwa Amerika penting bagi kita, jangan sampai pasar yang sudah ada di Amerika yang labour intensive ini akan hilang. Lakukan diplomasi yang soft agar Amerika bisa menurunkan tarif, kita juga menurunkan tarif untuk Amerika agar dapat memperoleh jalan tengah,” pungkasnya.
(ori)