LANGIT7.ID-Keterbatan sekali lagi bukan penghalang mengenyam pendidikan tinggi. Kisah tiga mahasiswa autisme UGM menjadi contohnya.
Ketiga mahasiswa itu adalah Riani Wulan Sujarrivani dari prodi S1 Ilmu Tanah angkatan 2024, Siham Hamda Zaula Mumtaza dari prodi S1 Ilmu dan Industri Peternakan angkatan 2019 dan Muhammad Rhaka Katresna dari prodi Magister Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana.
Riani membagikan pengalamannya sebagai mahasiswa autisme di UGM. Ia menyampaikan bahwa dirinya telah diagnosis Autism Spectrum Disorder.
Ia bercerita bahwa stigma yang ia dapatkan sebagai penyandang autisme adalah dianggap bodoh oleh masyarakat dan dianggap tidak mandiri hanya karena berbeda.
"Beruntung, saya mendapat dukungan dari keluarga dan guru. Orang tua bahkan sempat berhenti bekerja karena melihat perkembangan saya yang berbeda dan ingin mendampingi saya lebih dekat. Ketika sekolah, saya juga mendapatkan dukungan moral dari para guru untuk belajar mandiri dalam kehidupan sehari-hari,” kata Riani dikutip dari situs resmi UGM.
Sementara Siham, mahasiswa yang lahir di Bojonegoro, Jawa Timur berbagi kisahnya sebagai penyandang autisme dan gangguan kesehatan mental.
Siham bercerita bahwa ia didiagnosis dengan Autism Spectrum Disorder saat masih di sekolah dasar dan telah menjalani berbagai terapi sejak usia dini meski diagnosis itu sempat disangkal oleh orang tuanya.
"Pada saat awal saya diagnosis Autism Spectrum Disorder, orang tua saya, terutama ayah saya, menolak status Autism Spectrum Disorder saya. Dibilang, saya ini adalah orang normal, tidak ada kekurangan,” katanya.
Lain lagi kisah Rhaka. Sejak kecil hingga dewasa, ia mengalami perbedaan perkembangan yang tidak diidentifikasi secara tepat oleh sistem layanan kesehatan. Rhaka berbagi kisahnya dalam memperoleh diagnosis autisme di usia dewasa.
Ia mengaku bahwa mendapatkan diagnosis autisme di usia dewasa bukanlah perkara mudah, apalagi di Indonesia. Selama 27 tahun hidupnya, ia menghadapi berbagai tantangan, termasuk penolakan keluarga dan ketidakpastian dari layanan kesehatan.
"Diagnosis autisme pada anak-anak saat ini cenderung lebih mudah karena banyak tenaga ahli yang fokus di sana. Tapi untuk usia dewasa, justru jauh lebih sulit,” ungkapnya.
Setelah lulus S1 Psikologi, ia akhirnya memilih untuk melanjutkan S2 di Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya di UGM, yang menyatakan bahwa program ini terbuka terhadap mahasiswa autistik.
Rhaka menekankan bahwa orang autis cenderung memiliki minat khusus. Setiap individu memiliki ketertarikan mendalam yang berbeda-beda.
Dalam kasusnya, ia tertarik pada penelitian berbasis pengalaman autistik, bidang yang masih jarang diakui di Indonesia.
Di prodi Studi Agama dan Lintas Budaya selalu mendukung minat risetnya, termasuk dalam membangun epistemologi studi yang berasal dari perspektif orang autistik. “Di prodi ini, saya bisa mendapat ruang untuk mengkritisi konstruksi ilmu tersebut,” katanya. (*)
(hbd)