LANGIT7.ID-Jakarta; Selama hampir dua dekade, sistem kerja outsourcing menjadi salah satu isu yang paling sering disuarakan oleh pekerja. Ketidakpastian nasib, rendahnya upah, dan lemahnya perlindungan jaminan sosial adalah sebagian dari keresahan yang kerap mencuat di jalanan maupun ruang advokasi. Namun baru kali ini, suara itu benar-benar terdengar hingga ke pusat kekuasaan.
Presiden Prabowo Subianto memilih May Day 2025 sebagai panggung untuk menyampaikan niatnya: menghapus sistem alih daya yang selama ini jadi duri dalam dunia ketenagakerjaan. Langkah itu bukan hanya simbolik. Kementerian Ketenagakerjaan langsung menindaklanjuti arahan tersebut sebagai dasar dalam penyusunan regulasi.
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menyampaikan bahwa kementeriannya tengah merancang Peraturan Menteri (Permenaker) tentang outsourcing yang langsung berakar dari kebijakan Presiden. “Kebijakan Presiden yang disampaikan pada perayaan May Day 2025 terkait outsourcing tentunya akan menjadi kebijakan dasar dalam penyusunan Peraturan Menteri tentang outsourcing yang saat ini sedang disusun,” ujar Yassierli melalui Siaran Pers, Jumat (2/5/2025).
Outsourcing yang awalnya dimaksudkan untuk efisiensi, dalam praktiknya seringkali meluas hingga menyentuh kegiatan inti perusahaan. Ini berdampak pada hilangnya kejelasan karir, kerentanan terhadap PHK, dan sulitnya membentuk serikat buruh. Yassierli menilai bahwa penyimpangan-penyimpangan semacam inilah yang membuat sistem tersebut perlu dikaji ulang secara menyeluruh.
Tak hanya regulasi setingkat menteri, Kemnaker juga tengah menyusun Undang-Undang Ketenagakerjaan baru sebagai respon atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/2023 tentang UU Cipta Kerja. Upaya ini, kata Yassierli, adalah mandat langsung dari Presiden, agar hukum ketenagakerjaan di Indonesia berpijak pada asas keadilan.
“Saya sebagai Menteri Ketenagakerjaan tentunya menyambut baik dan akan siap menjalankan arahan atau kebijakan Presiden Prabowo sehubungan dengan outsourcing tersebut,” imbuhnya. Bagi Yassierli, sikap tegas Prabowo adalah cermin bahwa pemerintah tidak menutup telinga terhadap kegelisahan buruh.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa segala kebijakan di sektor ini harus selaras dengan nilai konstitusi. Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dijadikan acuan utama, karena menjamin hak setiap warga negara untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang layak dan adil.
Kini, saat deretan peraturan mulai disusun ulang, tonggak perubahan ketenagakerjaan tampaknya tidak lagi berangkat dari atas ke bawah. Justru sebaliknya, negara sedang belajar mendengar—dan melangkah—bersama suara buruh.
(lam)